Oleh: Rosani Hiplee
APABILA membaca sajak yang pendek dan ringkas, pasti ada yang menyangka bahawa menulis sajak itu mudah. Asalkan larik katanya dalam bentuk berangkap, maka terhasillah sebuah sajak. Malah, sesebuah sajak akan dinilai lebih estetik jika kata-kata puitis yang dilarik mempunyai perulangan rima apabila dibaca.
Sebuah sajak paling pendek yang ditulis oleh Sitor Sitomurang, iaitu:
Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan.
Persoalannya, adakah sajak sesederhana itu? Sajak ini, walaupun ditulis hanya satu larik, tapi telah memberi pelbagai tafsiran dan perbahasan dalam kalangan pembaca. Pemerian makna sajak ini cukup subjektif untuk terus direnungfikirkan. Demikianlah karya sajak dengan segala sifat seninya yang artistik.
Sajak pada dasarnya merupakan sebuah ungkapan yang digubah oleh perasaan dan pemikiran individu penulis menjadi gugusan-gugusan aksara yang ranum maknanya. Apabila menukil sajak, manipulasi emosi penulis dalam memilih, menyusun serta menata makna kata diteliti kritis bagi memerikan tanggapan yang indah. Sebuah sajak yang baik pasti menuntun pengamatan pembaca ke ruang pemaknaan yang sensual.
Sasterawan Negara Muhammad Haji Salleh pernah mengungkapkan bahawa sajak yang baik ialah sajak yang indah bahasanya dan dapat melancarkan kebijaksanaan (tidak kosong atau bombastik). Ungkapan ini seperti mencabar kewibawaan diri penulis sajak agar selalu peduli dan teliti terhadap kata yang ditata bukan hanya sebatas perasaan tapi maknanya juga harus mampu menggugah gagasan.
Larik bahasa sajak pun wajar cenderung menggunakan kata-kata yang telus, tulus dan tepu makna. Walaupun makna kata sesuai dengan kata yang dipilih, tetapi memanipulasikan emosi perlu mampu membangkitkan makna yang bukan sebatas rasa. Pemilihan kata yang sederhana tapi mampu memerikan jalur warna kiasan yang prisma pasti menjadikan sajak tersebut menarik untuk di taakul oleh pembaca dengan ralit.
Oleh itu, syabas kepada penulis muda seperti Nur Ashikin, Valenthia dan Nishantini kerana sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera (WBS), akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas.
Dalam penulisan sajak, lazimnya penulis akan membahaskan tentang kejadian-kejadian yang berlaku dalam kehidupan seharian seperti cinta, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Maka, ketiga-tiga buah sajak yang disiarkan tersebut jelas berkisah tentang perasaan dan pemikiran penulis itu sendiri.
Hal ini wajar kerana ungkapan sajak yang diolah tanpa prejudis pasti berbaur jujur dan mengalir sesuai dengan pengalaman serta pengamatan sendiri. Kesemuanya menguliti hakikat kehidupan yang manusiawi. Mudah-mudahan nilai perasaan dan gagasan yang digarap tersebut dapat memaknakan sesuatu kepada pembacanya dengan polos.
Sajak “Sederhana Saja” oleh Nur Ashikin bertemakan fitrah kehidupan yang manusiawi. Penulis bertamsil dengan alam bagi mencitrakan perasaan dan gagasannya. Misalnya dalam rangkap berikut;
Jikalau sukakan hujan,
jangan kebasahan hingga jatuh sakit.
Jikalau sukakan senja,
jangan menanti senja hingga gelap-gelita.
(rangkap 1 dan 2, sajak “Sederhana Saja”)
Menerusi rangkap berikutnya pula, penulis memperkatakan tentang peritnya mendesak dan memaksa diri apabila berlebihan untuk menikmati sesuatu yang digemari tanpa batas. Misalnya;
Jangan menyeksa diri
menikmati hujan dan senja
hingga lupa keterbatasan dunia.
(rangkap 3, sajak “Sederhana Saja”)
Manakala dalam rangkap akhir sajak, penulis berpesan agar apa-apa jua yang dinikmati di dunia ini wajar dengan seadanya sahaja, layaknya sebagai manusia yang bukan siapa-siapa di dunia yang sementara ini.
Sederhana saja,
kita hanyalah manusia biasa
(rangkap 4, sajak “Sederhana Saja “)
Sajak ini berbentuk bebas dan dibina dalam empat rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa. Pemilihan kata dalam sajak masih perlu diperhatikan dengan lebih rasional dan komunikatif. Justeru penggunaan unsur-unsur persajakan seperti simile, percitraan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih berjiwa dan ampuh.
Walaupun penulis tampak cenderung dalam memanipulasikan citra namun masih terdapat beberapa larik kata dalam sajak yang kurang sesuai semantiknya. Misalnya, dalam larik sajak berikut;
…
jangan kebasahan hingga jatuh sakit.
…
jangan menanti senja hingga gelap-gelita.
Ungkapan dalam larik tersebut agak polos. Pemilihan kata yang sederhana tapi dapat memerikan makna yang mendalam adalah lebih baik agar nilai sajak tampak padu dan utuh kiasannya. Sekadar saranan larik sajak tersebut ditulis seperti berikut;
…
jangan kebasahan hingga menggigil sendi.
…
jangan menanti senja hingga diselubung malam.
Selain itu, pengulangan kata “jikalau” wajar dilakukan sebanyak tiga kali sebagai unsur pengulangan yang bermaksud penegasan terhadap sesuatu persoalan dalam sajak. Oleh itu, penulis harus menambah larik tersebut agar persoalan sajak benar-benar mantap. Kesederhanaan dalam menulis sajak masih wajar membekaskan keampuhan citra dan makna pada persoalan-persoalan yang diungkapkan kepada khalayak pembacanya.
Sajak “Bertemu Bukan untuk Bersama” oleh Valenthia bertemakan cinta anak muda yang tidak berjodoh selamanya. Dalam rangkap awal sajak, penulis membicarakan soal hati yang sedang bahagia kerana dilamun cinta. Misalnya;
Wajahmu sarat dengan cinta
membuat bunga hatiku mekar
senyummu manis bak gula
menceriakan duniaku.
(rangkap 1, sajak “Bertemu Bukan untuk Bersama”)
Dalam rangkap kedua sajak, penulis tersentak apabila menyedari hubungan cintanya tidak kesampaian kerana takdir tidak menyatukan mereka untuk selamanya bercinta. Misalnya;
Tiba-tiba tatapanku ternoktah
tertampar dengan kenyataan
bahawa dirimu dan diriku
ditakdirkan cuma untuk bertemu
bukan untuk bersama.
(rangkap 2, sajak “Bertemu Bukan untuk Bersama”)
Pemilihan kata dalam sajak ini agak langsung pada pernyataan emosi penulis yang peribadi sifatnya. Sajak ini berbentuk bebas kerana tiada keterikatan pada pengulangan rima sajak seperti ciri syair atau pantun. Sajak ini dibina daripada dua buah rangkap yang sederhana.
Gaya bahasa sajak bersahaja. Penggunaan unsur-unsur persajakan seperti metafora, imejan, personifikasi dan lain-lain kurang diolah dengan lebih segar bagi memaknakan larik sajak yang lebih menjalar malar.
Sememangnya, semasa menulis sebuah sajak yang baik, penulis perlu teliti dan ralit dalam menata kata yang dijalin agar makna kata tersebut berupaya mendegupkan tema dan persoalan sajak lebih meresap dan hangat seperti layaknya jiwa yang bercinta.
Kesederhanaan menulis sajak bukanlah seadanya hambar tetapi wajar membekaskan kenyamanan yang diuliti tamsilan yang menggugah. Contohnya, sajak “Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta” oleh Sapardi Djoko Damono:
“mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
mencintai-Mu
harus menjelma aku”
Terakhirnya ialah sajak “Izinkanlah Daku” oleh Nishantini, sebuah sajak yang juga bertemakan cinta anak muda. Pada awal rangkap sajak, penulis sedang asyik dengan perasaan yang dilamun cinta. Kepayang penulis jelas pada setiap larik sajak. Misalnya;
Setiap pagi memandangmu
berdegup-degup jantungku
sinar wajahmu
menguntum mekar tatkala kau di sisi
Saban hari mengingatimu
kepingin untuk menatap raut wajahmu
kau satu, kusanjungi
bayanganmu bermain di mataku
(rangkap 1 dan 2, sajak “Izinkanlah Daku”)
Pada larik akhir sajak pun, penulis masih larut dengan jiwa bercinta dengan impian dan hasratnya yang membara. Misalnya;
Setiap kali mengenangmu
beribu persoalan pada diriku
izinkan aku mendakap erat hatimu
jika ditakdirkan engkau teman sejiwaku
izinkanlah daku.
(rangkap 3, sajak “Izinkanlah Daku”)
Bentuk sajak ini bebas dan dibina daripada tiga buah rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa dan masih memerlukan pemurnian semula agar makna kata sajak lebih menyeluruh elemennya. Pemilihan kata sajak pula agak langsung dan mudah difahami. Sebaik-baiknya, penulis bersedia memanfaatkan manipulasi kata yang lebih dalam maknanya pada keseluruhan isi dan naratif dalam sajak ini. Oleh itu, sangat digalakkan agar penulis mahu membaca sajak-sajak penulis mapan yang diminati agar penulis dapat menemukan proses pemaknaan yang lebih tuntas dan bernuansa.
Apabila menulis sajak tentang cinta, maka wajar yang dinikmati dan diresapi oleh pembaca adalah kenyamanan perasaan yang hangat. Manakala sebuah sajak yang berbaur emosi juga wajar diruapi sensual kewarasan agar sajak yang dihasilkan bukanlah tentang jiwa yang majnun semata. Contoh sajak bertemakan cinta yang baik ialah sajak “Aku Ingin” oleh Sapardi Djoko Damono:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Sesungguhnya dalam penulisan sajak walau sesederhana apa pun, perlu juga mempunyai unsur kepelbagaian makna, asosiasi, ekspresif dan kiasan. Rene Wellek dan Austin Warren berpendapat bahawa bahasa sajak penuh percitraan, daripada yang paling sederhana sampai sistem mitologi. Sementara Sapardi Djoko Damono pula memberi pengertian lebih sederhana, iaitu sajak adalah ingin mengatakan begini, tetapi dengan cara begitu.
Semoga dengan teguran dan saranan yang ada, penulis dapat memahami apa yang mahu disampaikan dengan berlapang rasa dan tanggapan. Rumusnya, ketiga-tiga buah sajak yang dibicarakan tadi masih mempunyai kekuatannya tersendiri apabila dinilai daripada angka usia pengalaman berkarya penulis masing-masing. Semoga para penulis muda ini terus bersedia terampil dengan hasil sajak yang ingin diolahnya dengan memanfaatkan sepenuhnya hakikat sifat sebuah sajak yang tinggi nilai estetika aksaranya.
Bakat dan minat tinta Nur Ashikin, Valenthia dan Nishantini dalam genre sajak ini harus diberi ruang dan peluang yang lebih serius agar penulisan mereka bertambah dewasa dan menjanjikan keterampilan berkarya. Justeru masing-masing berpotensi dalam memperlihatkan nilai kepenyairan diri. Cuma mereka harus lebih memahami pemilihan kata dalam menulis sajak agar olahannya kelak lebih komunikatif dan sarat makna. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka. Syabas dan sukses, selalu!