Oleh: Rosani Hiplee
SAJAK ibarat bunga yang tumbuh indah di celahan retak. Sajak yang spiritual lazimnya ditulis untuk memberikan ketenteraman, kenyamanan dan inspirasi terhadap keadaan yang sukar, kecewa atau luka. Sajak ialah metafora yang sangat indah dan sarat makna. Sajak juga kerap lahir daripada gejolak perasaan dan pengalaman penulis yang pahit atau peritnya kehidupan yang ditempuhi. Meskipun tumbuh di tempat yang retak, sebuah sajak yang baik wajar mampu memberikan keindahan, kedamaian dan kedalaman makna yang tuntas pada lingkungannya.
Sebuah sajak yang berjiwa seperti bunga yang tumbuh di tempat yang sunyi lalu menyerikan kembali ruang yang retak, sebagai memerikan harapan dan semangat untuk bertahan hidup di balik purukan takdir. Oleh itu, penulis bertanggungjawab untuk mengolah keseimbangan pemikiran dan perasaan dalam karya agar pembaca dapat menemukan semiotiknya. Selain memberikan inspirasi kepada pembaca, dengan menulis sajak juga dapat membantu penulis untuk mencapai kelegaan terhadap selaan jiwanya yang terganggu oleh lingkungan yang tidak selesa kerana sesuatu keadaan. Louise Hoffman, pakar terapi, pernah menyatakan rasa kagum terhadap kliennya apabila mereka mula menulis puisi sebagai bentuk luahan; “Sebelum ada psikoterapi, ada puisi, yang boleh dianggap sebagai seni teknik pemulihan tertua digunakan dalam pelbagai budaya dalam sejarah“.
Menulis sajak memerlukan beberapa elemen penting agar dapat menghasilkan karya yang baik dan bermutu. Berikut adalah beberapa ciri yang diperlukan semasa menulis sajak:
- Perasaan dan inspirasi
Sajak lazimnya ditulis daripada perasaan yang mendalam atau pengalaman peribadi. Perasaan seperti cinta, kesedihan, kebahagiaan atau ketakutan dapat menjadi sumber inspirasi yang kuat. Tanpa adanya perasaan yang ingin diungkapkan, sajak akan terasa hambar dan kurang bermakna.
- Penggunaan bahasa yang sederhana tapi indah
Bahasa dalam sajak harus ditata dengan cermat agar terkesan puitis dan menyapa rasa. Pilihan kata yang sesuai, metafora yang literal dan simile yang segar sering digunakan untuk menghasilkan efek pemikiran dan emosi yang ampuh.
- Ritma dan rima
Ritma atau irama dalam sajak membantu menciptakan keharmonian rentak dan alunan kata dalam pembacaan. Puisi lama mengikut pola rima tertentu, sementara sajak lebih bebas dan tidak terikat oleh aturan rima.
- Kreativiti dan imaginasi
Menulis sajak memerlukan kreativiti untuk mengungkapkan ide atau perasaan dengan cara yang versatil. Imaginasi yang literal membantu penulis untuk menyusun imejan pemikiran yang kritis dan tuntas.
- Struktur sajak
Meskipun tidak selalu harus mengikuti aturan yang ketat, memahami struktur sajak seperti rangkap, baris dan pola rima akan membantu penulis untuk menyusun karya secara lebih teratur dan efektif.
- Keterbukaan dan kejujuran
Menulis sajak memerlukan keberanian untuk membuka diri dan menumpahkan perasaan yang mungkin sulit diungkapkan secara langsung. Kejujuran dalam tumpahan rasa akan menjadikan sajak terasa lebih telus dan tulus.
- Kesabaran dan pengamatan
Sajak yang baik tidak selalu diungkapkan dengan mudah. Kesabaran diperlukan untuk mengeksplorasi pelbagai cara dalam mengungkapkan ide dan mengasah kemampuan menulis. Selain itu, pengamatan terhadap dunia sekitar boleh membantu menambah makna dalam sajak.
Dengan elemen-elemen ini, seseorang penulis boleh menulis sajak yang memiliki kedalaman dan keindahan, serta boleh menyentuh sukma pembacanya dengan hangat.
Oleh itu, syabas dan tahniah kepada Benjamin Asin, Asyraff Jamin dan Ramadani Suhaimi yang masih bersemangat menulis sajak. Sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera, akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas. Sajak-sajak yang dinukilkan oleh mereka pada dasarnya lebih menanggapi soal perasaan dan pemikiran yang merupakan sebuah perkongsian pengalaman serta pengamatan kendiri. Semua sajak tersebut seperti berusaha menembusi kabut kehidupan yang peribadi. Semoga nilai-nilai alamiah yang ditaakul tersebut dapat memaknakan sesuatu pada jiwa pembacanya.
Sajak “Sempurnanya Cinta Matematika” oleh Benjamin Asin bertemakan penaksiran cinta sepasang individu. Sajak ini disarati dengan tamsilan penulis dalam perhitungan nilai cinta yang sebenar. Misalnya dalam pada rangkap awal sajak;
Jika diikutkan prinsip geometri,
Jarak antara dua titik mestilah lurus,
Fokus pada titik depannya,
Serta tidak melencong lagi.
Begitu juga dengan cinta,
Cinta itu sempurna,
Jika tertumpu dengan satu objek,
Tidak akan menoleh ke mana-mana,
Dan tidak akan mencari yang lain.
(rangkap 1 dan 2, sajak “Sempurnanya Cinta Matematika”)
Menerusi rangkap seterusnya pula, penulis menanggapi perasaan cintanya seperti formula subjek matematik. Misalnya;
Mencintaimu
Bagaikan
Pertemuan titik tengah
Antara jarak titik Paksi- Y dan Paksi-X
Mencintaimu
Ibarat
Kuasa dua sempurna
Antara jiwa dan raga
Mencintaimu
Ibarat
Min pada terma mod dan median
Antara bahagia dan duka.
(rangkap 3-5, sajak “Sempurnanya Cinta Matematika”)
Manakala dalam rangkap akhir sajak, penulis menyimpulkan bahawa “Saat bahagia itu memilikimu/Akan berduka setiap saat jika kehilanganmu.” Pengakuan tersebut memerikan emosi kekasih yang lumrah.
Sajak ini berbentuk bebas dan dibina dalam enam buah rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa dan kata yang dipilih pun tidak lewah sekalipun penulis telah menggunakan kata yang sama berulang kali, kerana semuanya bertujuan untuk penegasan. Misalnya, kata “mencintaimu”. Cuma kata “ibarat” yang diulang dua kali, boleh saja diganti salah satunya dengan kata “persis”.
Sajak ini mempunyai kelainan kerana penulis telah berani mengolah sajak yang bertemakan cinta ini dengan menggunakan beberapa istilah atau formula matematik. Sekalipun tataolahannya belum tuntas, tapi pendekatan ini dalam menulis sajak. Setidak-tidaknya penulis telah menyatakan bahawa teknik penulisan sajak bukanlah objektif puitika, namun juga subjektif tanpa batas bidang ilmunya. Syabas kepada penulis!
Walau bagaimanapun, suka diingatkan bahawa menulis sajak itu bukanlah soal emosional sahaja tapi wajar juga rasional. Rasional yang dimaksudkan ialah sajak umpama bunga yang tumbuh di celahan retak. Sajak yang baik mampu memberi pesan hangat untuk membangkitkan lara jiwa. Pada larik akhir sajak ini, penulis merumuskan bahawa “Akan berduka setiap saat jika kehilanganmu.” Sebaik-baiknya penulis memerikan suatu yang lebih menyala. Contohnya seperti ungkapan kata Habib Husein Ja’far Al-Hadar:
“Tidak ada dua imam dalam satu masjid dan tidak ada sujud dalam solat jenazah, ertinya tidak ada dua orang dalam satu hati dan jangan pernah bersujud pada seseorang yang ingin pergi.”
Sesungguhnya, berjuang untuk belajar mengikhlaskan sebuah kehilangan lebih tulus dan mendamaikan jiwa yang manusiawi. Jika penulis berminat mengolah tema cinta yang luar biasa romantis dan menggugah, bacalah karya-karya Khalil Gibran dan Jalaluddin Rumi.
Sajak “Kaki Lima yang Gelap Itu” oleh Asyraff Jamin bertemakan kehidupan masyarakat yang daif. Pada keseluruhan sajak ini, penulis ingin belajar memahami suasana kehidupan daif masyarakat di sebuah kaki lima yang suram atau gelap. Misalnya;
Saat aku berjalan,
di kaki lima yang gelap itu,
suasananya – amat tidak menyenangkan,
keselesaan; langsung tidak terasa,
namun entah mengapa
tetap ada manusia,
yang sanggup;
menjadikan kaki lima itu,
sebagai rumah tempat berteduh,
dari hujan basah juga terik panas.
(rangkap 1, sajak “Kaki Lima yang Gelap Itu”)
Manakala pada akhir rangkap sajak, penulis hanya mengungkapkan doa agar masyarakat di kaki lima tersebut beroleh kebaikan dan semangat untuk meneruskan kehidupan mereka. Misalnya;
Ya Tuhan,
berilah mereka perlindungan,
berliah mereka kekuatanan,
berilah mereka ketahanan,
agar dapat terus kuat,
menjalani kehidupan – di kaki lima yang gelap itu.
(rangkap 3, sajak “Kaki Lima yang Gelap Itu”)
Pemilihan kata dalam sajak ini agak langsung dan terdapat beberapa pernyataan baris sajak yang kurang kemas bagi mengungkapkan persoalan demi persoalan yang hendak diolah. Sajak ini berbentuk bebas dan dibina daripada tiga rangkap yang sederhana bagi menyatakan persoalan yang ada.
Gaya bahasa sajak masih memerlukan penelitian yang lebih teliti. Penggunaan unsur-unsur persajakan seperti metafora, perlambangan, personifikasi dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih tuntas bagi memaknakan baris sajak yang lebih tepu.
Selain itu, dikesan juga kesilapan ejaan. Misalnya kata, “berliah” yang betulnya “berilah” dan “kekuatanan” yang betulnya “kekuatan”. Kesilapan tersebut tampak kecil, tapi impaknya besar pada makna sebuah sajak. Oleh itu, mohon penulis lebih peduli dan teliti dengan ejaan kata dalam sajaknya yang lain. Sajak bukanlah prosa yang berjela paragraf kata, maka wajar bagi penulis untuk lebih peka dengan ejaan kata yang dipilih.
Apabila penulis memilih untuk menyelesaikan masalah kehidupan daif masyarakat di lorong gelap dengan serangkap doa peribadinya, maka konklusi tersebut amat mudah dan tidak seperti menumbuhkan bunga di celahan retak. Oleh itu, disarankan agar penulis berpandangan lebih jauh bagi menanggapi kepincangan hidup di lorong gelap tersebut. Penulis wajar memerikan sesuatu yang lebih menyala bagi menerangi kehidupan mereka di lorong gelap tersebut. Setidak-tidaknya garaplah sebuah pemikiran yang boleh menjadi jalur atau relung cahaya kepada masyarakat daif tersebut untuk melihat kehidupan dengan segala pencerahan.
Terakhirnya ialah sajak “Yang Sudah Itu Sudah” oleh Ramadani Suhaimi, sebuah sajak yang juga bertemakan pekerti individu. Pada keseluruhan rangkap sajak, penulis hanyut dalam kemelut individu yang berpetualang. Misalnya;
Punya anggota sempurna
Tapi ada mata, buta
Ada telinga, tuli
Ada mulut, bisu
Ada tangan, kudong
Hati diam tak bersuara
Maka di mana beraninya?
Langkahnya mendabik dada
Pada yang lemah sentiasa
Ilmu setinggi menara mendunia
Namun adab serendah lumpur dan bersahaja
Angkuh seakan dirinya Maha Kuasa
Sedang ia berjalan sebagai seorang yang hina.
(rangkap 1 dan 2, sajak “Yang Sudah Itu Sudah”)
Pada rangkap akhir sajak, penulis menyimpulkan bahawa kepalsuan hidup tidak akan berakhir dengan baik dan sempurna. Misalnya;
Ke puncak tinggi dia terbang
Tapi hendak turuni pulang ia tumbang
Cita-cita, impian tidaklah cemerlang
Semoga sedar diri wahai palsunya petualang.
(rangkap 4, sajak “Yang Sudah Itu Sudah”)
Bentuk sajak ini bebas dan dibina daripada empat buah rangkap yang agak lewah bagi menyatakan taakulan penulis terhadap keperibadian individu yang kurang berakhlak. Gaya bahasa sajak ini masih memerlukan penelitian semula agar makna kata sajak lebih tertata unsur pengolahannya. Pemilihan kata sajak biasa tapi agak sukar difahami maknanya. Penulis masih perlu lebih mahir untuk memanipulasi kata yang lebih tuntas maknanya pada tema dan persoalan sajak. Oleh itu, sangat digalakkan agar penulis mahu membaca sajak-sajak penulis mapan yang diminati agar penulis dapat menemukan proses pengolahan sajak yang lebih tampil persoalan dan terampil ungkapannya.
Ungkapan yang ditata dalam rangkap sajak ini agak berkabut pemaknaannya apabila larik-larik sajak ditaakul dengan teliti. Misalnya dalam rangkap ketiga sajak iaitu;
Hidungnya ada, lupa tidak dapat menghidu wangi
Alah katanya tapi busuk bau makin menjadi-jadi
Mencuri ilham satu yang pasti
Kini hilang tanpa disedari
Manakan tidak, punca ideanya tiada lagi.
Pertautan persoalan dari rangkap ke rangkap sajak agak sukar difahami kerana penulis tidak mengaitkan setiap persoalan dengan lebih tersusun dan teratur. Oleh itu, penulis harus lebih rapi menjalinkan persoalan dan ungkapan dalam sajak agar pembaca tidak terbata-bata untuk memahami dengan jelas apa yang mahu diungkapkannya. Sebaik-baiknya penulis tidak menggantung makna kata terlalu tinggi sehingga sukar difahami pesannya. Penulis perlu arif memanipulasi kata dan makna agar dapat ditaakul dengan tuntas.
Apabila membaca judul sajak, pembaca dibayangi tentang sesuatu yang harus dilupakan dan jangan dikenangkan lagi. Tetapi, membaca rangkap ke rangkap sajak, sepertinya persoalan yang diungkapkan berbeza-beza. Hal ini telah mengelirukan pengamatan pembaca terhadap naratif sajak secara menyeluruh. Oleh itu, untuk menanggapi sajak ini seperti bunga yang tumbuh di celahan retak, agak sukar. Penulis perlu fokus pada tema dan persoalan-persoalan sajak dengan lebih tertata agar pembaca tidak terbata-bata membacanya.
Semoga dengan teguran dan saranan yang ada, penulis dapat memahami apa yang mahu disampaikan dengan berlapang rasa dan tanggapan. Sememangnya menulis sajak yang baik bukanlah sesuatu yang mudah dan diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat. Sesebuah karya sajak perlu melalui proses baca, sunting, baca dan sunting sehingga ungkapan rangkapnya benar-benar menyeluruhi makna tema dan persoalan-persoalannya.
Rumusannya, ketiga-tiga buah sajak yang dibicarakan tadi masih mempunyai elemen-elemen sajak yang baik. Oleh itu, potensi dan keberanian Benjamin Asin, Asyraff Jamin dan Ramadani Suhaimi wajar diberikan ruang dan peluang yang lebih khusus pembelajarannya. Justeru mereka telah memperlihatkan nilai kepenyairan diri yang tinggi, terutamanya Benjamin yang telah mengolah sajak dengan teknik yang menarik. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka. Syabas dan sukses, selalu!