Oleh: Rosani Hiplee
SAJAK bukanlah sekadar longgokan kata yang diungkap dari rangkap ke rangkap tanpa makna yang tuntas. Binaan rumah sajak wajar berangka cerita dan berpasak tiang-tiang persoalan yang tak lapuk dek hujan tak lekang dek panas. Bahasa sajak yang komunikatif, terampil menaungi dinding pemikiran, jendela perasaan dan lantai kata yang estetik. Sajak yang baik adalah rumah jiwa untuk pembaca berpulang rindu pada kehidupan yang dijalani bersama-sama penulisnya.
Sajak dan karya prosa lain dibina dalam bentuk yang berbeza olahannya. Sajak tidak mempunyai paragraf, tetapi rangkap. Sajak juga tidak dikarangi deretan kata, tetapi larikan. Sajak pun tidak menyurat makna, tetapi menyirat. Sajak memiliki binaan yang subjektif, tetapi konkrit.
Hasanudin (2002:32) membezakan bentuk sajak dengan prosa melalui ciri-ciri berikut:
- Sajak memiliki ciri yang utama, iaitu ada monolog atau larik, hal ini disebabkan sajak bukanlah suatu deretan peristiwa sehingga di dalamnya tidak ditemukan alur atau plot.
- Sajak memiliki sifat, iaitu tidak mengikuti struktur logik dalam kalimatnya sehingga berkemungkinan ditemukan adanya penyimpangan demi memunculkan irama sebagai kepentingan kepuitisan.
- Bahasa yang digunakan umumnya adalah bahasa konotatif atau timbulnya nilai rasa dalam kalimat.
Selain itu, sajak turut memiliki beberapa sifat seperti berikut:
- Sajak memiliki irama pada kalimatnya atau mempunyai kesesuaian jalinan antara isi dan tatabahasanya.
- Terdapat kebebasan dalam pengucapan bunyi yang diungkapkan.
- Antara bunyi atau rima pada ujung-ujung baris memiliki keleluasaan atau tidak mengemukakan kontradiksinya.
- Jumlah larik boleh berubah-ubah pada setiap rangkapnya.
- Setiap larik akan membentuk rangkap.
Tempoh membina ungkapan sajak yang berbekas memerlukan ketelitian sehingga setiap kata yang dipilih benar-benar telah menemukan kesesuaian dan ketepatan pada makna yang mahu diungkapkan. Sesungguhnya menulis sajak yang bernadi menuntut kesabaran dan ketenangan yang ampuh.
Oleh itu, syabas kepada penulis pemula seperti Adhwa Mahyuddin (AdMaDi), Selles Metchu Anak Robin dan Johari A. Julaihi kerana sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera (WBS), akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas. Mudah-mudahan segala yang cuba diungkapkan dalam sajak mereka akan membekaskan sesuatu kepada khalayak pembaca.
Apabila menulis sajak, biasanya ada sesuatu dalam lingkungan diri yang sangat mengganggu hingga menuntut penulis untuk mengungkapkannya. Oleh itu, ketiga-tiga buah sajak yang disiarkan tersebut begitu menanggapi soal perasaan dan pemikiran yang ditanggung oleh penulisnya. Ungkapan sajak yang diolah jelas telus seputar pengalaman serta pengamatan peribadi penulis. Semoga nilai perasaan dan pemikiran yang ditaakul tersebut dapat memerikan sesuatu kepada pembacanya.
Sajak “Kurang Tanpa” oleh Adhwa Mahyuddin (AdMaDi) bertemakan kehidupan semasa. Sajak ini adalah rumah kepincangan peradaban masyarakat era dunia tanpa sempadan. Dalam setiap rangkap sajak, penulis mengungkapkan nilai-nilai kebobrokan yang sedang menular dalam kehidupan seputar masyarakat kini. Misalnya dalam rangkap-rangkap berikut;
…
dunia kini semakin kurang, menuju tanpa.
Telefon sudah tanpa wayarnya.
Memasak kini tanpa apinya.
Kenderaan melatar tanpa kendaliannya.
Makanan sudah kurang lemaknya.
Pakaian kini kurang kainnya.
Riang anak muda tanpa kerjayanya.
Tayar pun sudah tanpa anginnya.
Ketua negara kurang wibawanya.
Isteri melenting, kurang taatnya.
Anak bertutur tanpa adabnya.
Lahir bayi tanpa orang tuanya.
Hubungan kini tanpa pengertiannya.
Hati sudah kurang rasanya.
Tingkah laku kurang caknanya.
(rangkap 1-3, sajak “Kurang Tanpa”)
Manakala dalam dua rangkap terakhir sajak, penulis cuba mendirikan tiang-tiang harapan bagi menampung sobekan nilai kehidupan tersebut agar bunyi pahat masih kedengaran mengkritik. Misalnya dalam rangkap berikut:
…
harapan kita masih ada,
tanpa penghujungnya.
Tatkala melihat,
lidah kelu tanpa kata.
Andai tiada yang bersuara,
menulislah aku tanpa nilainya.
(rangkap 4-5, sajak “Kurang Tanpa”)
Sajak ini berbentuk separuh bebas kerana ada keterikatan pada setiap rima akhir sajak dengan bunyi vokal yang sama, iaitu “a” seperti bentuk syair kecuali pada larik pertama dalam rangkap terakhir sajak yang menggunakan kata “melihat”. Cubaan teknik ini menarik bagi tujuan perulangan bunyi rima akhir yang sama tapi impak dalam sajak ini tampak disengajakan sehingga menghilangkan nilai keindahan pada ungkapan sajak. Penggunaan kata ganti diri “-nya” tersebut tidak memperlihatkan sisi artistik pada diksi sajak. Malah dikesan lewah apabila dibaca. Oleh itu, digugurkan adalah lebih baik.
Sajak ini dibina dalam lima rangkap yang agak lewah ungkapannya. Gaya bahasa sajak biasa dan kata yang digunakan pun lewah bagi menyatakan persoalan yang ada. Pemilihan kata dalam sajak ini masih memerlukan penelitian kerana penggunaan unsur-unsur persajakan seperti imejan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya masih perlu diolah kemas bagi memperkukuh tamsilan pemikiran agar rumah sajaknya lebih kekar menunjangi akal budi pembaca.
Dalam ungkapan sajak ini, penulis sangat perlu lebih teliti, hati-hati dan peduli dalam penggunaan imejan yang dijalinkan. Terdapat beberapa perlambangan yang kurang sesuai dan utuh untuk mengungkapkan hal yang sebenar. Misalnya, dalam larik-larik sajak berikut;
Telefon sudah tanpa wayarnya.
Memasak kini tanpa apinya.
Kenderaan melatar tanpa kendaliannya.
Makanan sudah kurang lemaknya
Jalinan imejan yang digariskan tersebut kurang menepati ungkapan makna yang diolah dalam larik tersebut. Oleh itu, penulis perlu mencermati lapis makna pada setiap imejan yang ditamsilkan. Jika penulis masih bertegas pada pilihan imejannya, sekadar saranan, kata “memasak” diganti “kulinari”, “kenderaan melatar” diganti “kereta dikemudi” dan “makanan” diganti “juadah”.
Selain itu dalam rangkap kedua dan ketiga sajak, ungkapan penulis bukan menilai perkara yang terjadi, sebaliknya langsung menghukum. Hal ini tidak wajar kerana boleh membangkitkan protes yang jelas dalam berproses ke arah kebaikan. Misalnya pada ungkapan kata bergaris berikut;
Pakaian kini kurang kainnya.
Riang anak muda tanpa kerjayanya.
Tayar pun sudah tanpa anginnya.
Ketua negara kurang wibawanya.
Isteri melenting, kurang taatnya.
Anak bertutur tanpa adabnya.
Lahir bayi tanpa orang tuanya.
Hubungan kini tanpa pengertiannya.
Hati sudah kurang rasanya.
Tingkah laku kurang caknanya.
Manakala larik “Tayar pun sudah tanpa anginnya.” dan “Tingkah laku kurang caknanya” digugurkan adalah lebih baik kerana tidak menghubungkan jalinan makna yang sedia ada dalam rangkap sajak yang diungkapkan.
Dalam sesebuah rumah sajak, harus ada keharmonian dan kebijaksanaan penulis dalam menjalinkan hubungan kata yang berhemah sebagai menjaga nilai kebersamaan yang nyaman dan selesa. Jangan terlalu emosional atau terlebih rasional dalam menanggapi sesebuah persoalan. Kreativiti yang komunikatif lebih berkesan dan menyenangkan. Justeru dalam sesebuah rumah sajak, bersederhana itu lebih indah dan nyaman.
Sajak “Waktu Muda” oleh Selles Metchu Anak Robin bertemakan kehidupan individu. Sajak ini adalah rumah konflik yang sedang berproses dalam takdir usia. Pada keseluruhan sajak, penulis membicarakan tentang kemelut dalam anjakan kedewasaan yang tuntas. Misalnya;
Suatu tengahari
ku termenung melihat dahan
pokok ditiup silih di bawah sinaran matahari
bunga membengkar
bagai diriku yang masih muda,
senyuman lebar tak
pernah kemalapan.
kini diriku telah matang,
ujian yang aku jalani
bagai hempasan
ombak di pantai
(sajak “Waktu Muda”)
Manakala pada larik-larik sajak selanjutnya, penulis berharap kepada Tuhan agar menuntunnya keluar daripada kecelaruan yang membayangi terowong kehidupannya. Misalnya;
aku merayu kepada tuhan
supaya
cahaya yang
seperti titisan air mata ini dapat
membimbingku keluar dari
kegelapan yang menelan bayang-bayangku
dan fikiran serabutku.
(sajak “Waktu Muda”)
Pemilihan kata dalam sajak ini biasa walaupun ada kecenderungan penulis untuk berkias puitis seperti “kegelapan yang menelan bayang-bayangku”, tetapi larik “dan fikiran serabutku” kurang harmoni jalinannya. Sajak ini berbentuk bebas dan dibina dalam satu rangkap yang sederhana panjangnya.
Gaya bahasa sajak bersahaja walaupun ada percubaan penulis untuk menggunakan beberapa unsur persajakan seperti kiasan, simile, personifikasi dan metafora. Bagus, cuma penulis masih perlu menjalinkannya dengan lebih sesuai dan rapi agar memberikan keharmonian pada makna sajak.
Selain itu, pemilihan kata “silih” pada larik ketiga rangkap sajak kurang tepat atau silap. Silih bukan bertiup sifatnya. Silih sinonimnya, ganti. Kalau silir, betul, sebab silir bermaksud angin yang lemah lembut. Penulis wajar menata kata yang tepat agar nilai makna sajak utuh menyeluruh dan menarik ditaakul. Mudah-mudahan penulis ambil perhatian tentang hal ini. Walaupun tampak remeh, silap pemilihan atau ejaan kata, pasti merubah makna pada sajak, menyebabkan penulis pun gagal menyampaikan pesan kepada pembaca.
Larik sajak “senyuman lebar tak/ pernah kemalapan” bukanlah susunan kata yang sesuai. Kata “lebar” merujuk pada ukuran atau saiz, sedangkan kata “kemalapan” ialah cahaya. Begitu juga dengan larik sajak “cahaya yang/seperti titisan air mata” pun sama. Perumpamaan cahaya dan air mata bukanlah jalinan yang sesuai pada sifat atau maknanya. Malah, patahan atau jeda sajak pada larik tersebut juga kurang harmoni. Oleh itu, penulis perlu merasai sendiri apresiasi larik sajak tersebut apabila dibaca agar dimengerti kesan yang dimaksudkan.
Terakhirnya ialah sajak “Bolehkah Aksara Menjadi Tulang?” oleh Johari A. Julaihi, sebuah sajak yang bertemakan seni percakapan. Sajak ini ialah rumah falsafah yang mempelawa pembaca untuk memahami sifat kata yang utuh. Kata-kata yang sebelum diungkapkan wajar terlebih dahulu berproses dalam cerna fikiran. Misalnya;
ada tika,
bergelantung kata-kata di minda
gugur tergelincir
ke dalam mulut,
melahir rasa mual. molek
sebelum memuntah,
dikunyah
agar serpihan aksara
menjadi tulang
pada lidah.
(sajak “Bolehkah Aksara Menjadi Tulang?”)
Bentuk sajak ini bebas dan dibina daripada sebuah rangkap yang pendek bagi menyatakan tamsilan percakapan. Gaya bahasa sajak menarik kerana penulis hemat memilih kata yang sesuai bagi mengungkapkan rangkap sajak. Tetapi penulis masih belum cermat sepenuhnya. Oleh itu, penulis harus meneliti semula laras bahasa sajak agar makna sajak lebih ampuh dalam unsur pembinaannya. Misalnya pada larik “melahir rasa mual. molek/sebelum memuntah,”. Kata “mual” antonim dengan kata “molek”, tetapi saling dihubung kait oleh penulis sebagai “menjadi tulang/pada lidah”. Disarankan agar penulis mencermati semula tamsilan bagaimana “serpihan aksara/menjadi tulang pada lidah”? Semoga ada pencerahan makna pada jalinan imejan tersebut.
Sajak ini pada dasarnya menarik kerana kurang lewah. Jika penulis terus menulis, pasti sajaknya kelak semakin dewasa dalam olahan dan pemaknaannya. Pemilihan judul sajak menarik dan mampu mengumpan minat pembaca untuk membacanya. Syabas!
Semoga dengan teguran dan saranan yang ada, penulis dapat memahami apa-apa yang mahu dikongsikan dengan berlapang rasa dan tanggapan. Rumusnya, ketiga-tiga buah sajak yang dibicarakan tadi tetap mempunyai kelebihan khusus apabila dinilai daripada tempoh pengalaman penulis masing-masing. Semoga para penulis muda ini terus siap tampil dengan kreativiti yang lebih menyerlah rumah sajaknya sebagai laman untuk rindu pembaca berpulang.
Sesungguhnya, keyakinan dan keberanian menulis Adhwa Mahyuddin (AdMaDi), Selles Metchu Anak Robin dan Johari A. Julaihi dalam genre sajak ini wajar diberikan ruang dan peluang yang lebih wibawa. Justeru masing-masing berkebolehan dalam memperlihatkan seni bina rumah kepenyairan diri. Cuma mereka harus sedia untuk lebih memahami proses tamsilan dan ungkapan dalam menulis sajak agar binaannya kelak lebih komunikatif dan sarat makna. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka.
Semangat dan sukses, selalu!