PENULISAN sajak merupakan sebuah karya seni aksara kata. Oleh itu, prosesnya begitu menuntut daya kreativiti yang artistik dalam membentuk dan melentur pemilihan kata. Ketika menulis sajak, pengertian dan pemaknaan harus telus dalam penyusunan kata-kata yang digarap agar hasilnya dapat ditaakul dengan menarik dan tuntas.
Salah satu kaedah untuk memahami karya sajak ialah dengan melakukan analisis terhadap akrobatik kata atau teks sajak. Oleh itu telah dikesan beberapa tahap standard yang pernah dikemukakan dalam memahami sajak dengan melakukan analisis akrobatik kata.
Pertama, aspek bunyi. Sebuah sajak akan bermakna jika dibaca dengan berupaya memahami aspek rima, irama, jeda, nada dan intonasi. Perhatikan perulangan yang digunakan, permainan huruf vokal dan konsonan, penekanan pada kata tertentu serta unsur-unsur bunyi yang lainnya.
Kedua, aspek kata. Salah satu definisi sajak menyebutkan bahawa sajak merupakan pola permainan atau akrobatik kata yang memiliki makna di dalamnya. Hal tersebut seperti mengisyaratkan bahawa aspek utama dalam sebuah sajak ialah rangkaian kata yang tepat dan kukuh. Dalam maksud lain, pemilihan kata dalam penulisan sajak wajar diteliti dan ditamsil dengan sebaik-baiknya sebagai wadah komunikatif yang berkesan.
Ketiga, aspek intrinsik (sifat) sajak. Pemahaman terhadap aspek intrinsik sajak sangat membantu pemahaman terhadap isi sajak. Dalam aspek intrinsik sajak ialah memuat objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dan dunia penyajak. Objek yang dikemukakan dalam hal ini memuat hal-hal yang diangkat penyajak dalam sajaknya, seperti perahu, bulan, air laut, kehidupan dan banyak lagi objek lain yang digunakan. Latar, sama halnya dengan prosa, memuat latar tempat dan waktu. Pelaku, dalam hal ini juga memuat pelaku yang dimunculkan dalam sajak, misalnya si aku atau tokoh yang lain.
Keempat, pemaknaan secara implisit (tersirat). Pada tahap ini, pemaknaan dilakukan secara menyeluruh sehingga terangkai sebuah cerita, peristiwa atau yang lainnya dengan pengolahan yang tersirat.
Kelima, tahap perenungan. Pada tahap ini, pembaca hingga merasa dituntut untuk melakukan penyimpulan dan perenungan terhadap isi sajak secara menyeluruh tentang makna isi sajak yang dihasilkan.
Sememangnya, penulisan sajak pada pemaknaannya tidak mudah tapi tidak juga sukar jika penyajak bersedia memahami dan memaknakan penulisan sajak yang hakiki.
Menurut penyajak H.B. Jassin, sajak ialah suara hati penyajaknya, sajak lahir daripada jiwa dan perasaan tetapi sajak yang baik bukanlah hanya permainan kata semata-mata. Sajak yang baik membawa gagasan serta pemikiran yang dapat menjadi renungan khalayak pembaca.
Selain itu, terdapat elemen “kepuitisan” dalam karya sajak. Samuel Taylor Coleridge, seorang tokoh aliran Romantik mengatakan bahawa sajak ialah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, yang tujuannya memberikan kesenangan langsung (immediate pleasure). Menurutnya lagi, ilmu bukanlah tidak memberikan kenikmatan, hanya saja kenikmatan ilmu diperoleh melalui penelitian dan tidak bersifat langsung.
Oleh itu syabas kepada penyajak muda seperti Norazmah Sartoni, Nadzirah Maripat dan Nurul Aiman Hamid kerana sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera, akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas.
Ketiga-tiga buah sajak yang disiarkan tersebut jelas mengungkapkan suasana kehidupan yang dijalani oleh setiap individu di dunia ini. Kesemuanya menerokai denai kehidupan yang dijalani. Mudah-mudahan nilai rasa dan nilai minda yang diolah tersebut berupaya memaknakan sesuatu kepada pembacanya. Sememangnya beberapa persoalan yang diolah dalam sajak-sajak tersebut mempunyai nilai kehidupan yang tersendiri.
Sajak “Lentera Hidup” oleh Norazmah Sartoni meneluskan jalur-jalur kehidupan yang ada. Sajak ini mempunyai beberapa pengamatan terhadap relung-relung cahaya daripada lentera kehidupan yang ditembusi. Dalam sajak ini, penyajak jelas bermonolog terhadap beberapa situasi yang dialaminya. Misalnya dalam rangkap-rangkap berikut;
Hidup itu pilihan,
…
Simpang kehidupan dan kehancuran,
Jelas terhampar di hadapan mata,
Hidup itu perjuangan,
Demi menggapai puncak kejayaan,
… .
Hidup itu pengorbanan,
Bukan datang terbang melayang,
Bukan menunggu bak pungguk rindukan bulan,
Bukan menanti bulan singgah ke riba,
… .
Hidup itu anugerah,
Yang maha kuasa kepada hambanya,
… .
(rangkap 1,3,4 & 5, “Lentera Hidup”)
Menerusi sajak ini, penyajak ingin menemukan makna pada beberapa hakikat persoalan dalam perasaan dan gagasan kehidupan yang dijalani oleh individu di muka bumi ini. Penyajak sengaja membangkitkan sensual persoalan yang menjadi relung cahaya pemikiran pembaca terhadap kehidupan yang manusiawi ini.
Sajak ini berbentuk bebas. Tiada keterikatannya pada bentuk sajak lama seperti pantun dan syair. Sajak ini juga dibina daripada enam rangkap yang agak lewah baris-baris rangkapnya.
Gaya bahasa sajak ini biasa dan langsung. Pemilihan dan akrobat katanya sangat mudah difahami. Malah, unsur-unsur persajakan seperti simile, perlambangan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya perlu diolah dengan lebih kemas dan komunikatif.
Sebagai penyajak, perlu diingatkan bahawa keindahan sajak tercipta daripada paduan harmoni: pesan yang ingin disampaikan, permainan kata, permainan rima, permainan citra, kesederhanaan dan kedalaman makna.
Pernyataan dalam olahan sajak ini ringkas dan fokus terhadap maksud yang ingin disampaikan. Tiada yang tersirat seperti lumrahnya bahasa sajak yang dihasilkan oleh penyajak.
Penyajak Agus R. Sarjono pernah memberikan ramuan agar sajak tidak mentah dan membosankan, iaitu dengan menghindari musuh-musuh sajak seperti;
(1) bahasanya umum, tidak unik, tidak khas;
(2) bahasanya gampangan, makna kata dan kalimat tidak digali secara mendalam, tidak ada penghayatan;
(3) bahasanya seperti pengumuman atau reklame, tidak ada sentuhan rasa dan estetika;
(4) bahasanya klise atau sudah janda, ungkapan-ungkapan usang, kata-kata yang sudah sering digunakan bahkan sudah “dicerai”; dan
(5) bahasanya menggurui, seolah segurat ayat dalam kitab suci.
Selain itu, penyajak juga perlu memahami penggunaan tatabahasa dengan lebih baik lagi, terutamanya terhadap penggunaan tanda baca yang betul. Dalam penulisan sajak, tidak perlu digunakan tanda koma pada setiap larik sajak. Begitu juga penggunaan huruf besar pada setiap awal larik sajak. Oleh itu, disarankan agar penyajak membaca dan memahami bentuk sajak yang standard. Hal ini akan menjelaskan rupa standard sajak yang lazim.
Selain itu, akrobatik kata yang ligat dan cergas tidak memberikan makna apa-apa sekiranya jalinan kata terhadap perasaan dan gagasan tidak selaras dengan keharmonian makna dan berkesan dengan mesej yang disampaikan oleh penyajak kepada pembaca.
Sajak “Manusia dan Fitrah” oleh Nadzirah Maripatsarat dengan padanan andaian. Hampir pada keseluruhan sajak ini, penyajak ralit membicarakan andaiannya berhubung fitrah yang manusiawi. Misalnya;
Andai manusia dan masa adalah seteru
Suasana jadi haru-biru
Kerana masa akan meninggalkanmu
Andai manusia dan kebenaran kian renggang
Tiada daya untuk menghalang
Pasti kebenaran akan menang
Andai manusia dan sabar bukan jodoh
Rumah yang kukuh akan roboh
Jiwa yang sabar tidak akan rapuh
Andai manusia dan iman dipisahkan
Tiada rindu saat berdampingan
Iman menghindar dari pandangan.
(rangkap 1 hingga 4, “Manusia dan Fitrah”)
Manakala dalam rangkap akhir sajak pula, penyajak menyimpulkan bahawa manusia atau individu sememangnya mempunyai hubungan atau komitmen yang serius dengan hukum alam. Misalnya;
Manusia dan fitrah punya hubungan
Termaktub perintah dan larangan
Hukum alam usah diabaikan
(rangkap 5, “Manusia dan Fitrah”)
Sajak ini berbentuk separa bebas kerana terdapat kecenderungan penyajak untuk mengongkong larik sajak dengan memberikan rima akhir yang sama walaupun tidak menyerupai syair mahupun sajak. Hal ini menarik untuk akrobatik bunyi pengulangan rima sajak namun penyajak kurang teliti dengan jalinan citra dan makna sajak. Impaknya, larik sajak kurang kukuh dalam memaknakan persoalan sajak.
Sajak ini dibina daripada lima rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa dan bersahaja. Pemilihan katanya perlu diperkukuh tanpa mengikatkannya dengan akrobatik rima kata hingga menjejaskan jalinan makna kata. Justeru itu, beberapa larik katanya masih boleh diberikan sentuhan semula agar lebih estetik biarpun elastik kritiknya. Pun juga beberapa unsur persajakannya masih memerlukan penelitian dan kekemasan, terutama dalam pemilihan citra.
Menulis sajak ialah merekonstruksi citra tersebut ke dalam bentuk rangkaian prosa kata, dengan menggunakan kata-kata konkrit, gaya bahasa personifikasi dan metafora, juga dengan permainan bunyi. Sehingga angin terasa elusannya, air terdengar perciknya, nadi terasa denyutnya. Psikologi mengidentifikasikan ada tujuh citra mental – pemandangan, suara, rasa, bau, sentuhan, kesedaran tubuh dan ketegangan otot. Semua dapat ditaakul penyajak untuk memperkukuhkan makna dan keyakinan akan kebenaran yang diungkapkan penyajaknya.
Keberhasilan membina citra akan meninggalkan kesan yang indah atau mengharukan pada diri pembaca. Jika sajak tidak meninggalkan sebarang kesan, kebarangkaliannya ialah citra yang dipilih penyajak gagal membekaskan sesuatu kepada pembaca.
Secara tekniknya, proses pengolahan sajak ini mencapai titik maknanya. Cuma penyajak masih perlu memperkemaskan gaya bahasa sajaknya, terutama dalam membina citra yang lebih kukuh. Penyajak harus menjaga keselarasan dan keseimbangan dalam komposisi untuk mencipta efek puitis walaupun kritis.
Dunton berpendapat bahawa sebenarnya sajak itu merupakan pemikiran manusia secara konkrit dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan penggunaan kiasan atau citra yang disusun secara artistik. Susunan artistik ini melibatkan selaras, simetri, pemilihan kata-katanya tepat dan sebagainya. Sajak juga mengandungi bahasa yang penuh perasaan, serta berirama seperti muzik.
Terakhirnya, sajak “Harapan” oleh Nurul Aiman Hamid, sebuah sajak yang bertemakan kehidupan. Dari rangkap ke rangkap sajak ini, penyajak membahaskan soal pengharapan atau tahap harapan yang dimiliki oleh individu. Misalnya;
Kosong,
Pandangan liar sering terpesong,
… .
Lemah,
Jiwa ini kembah,
… .
Bangkit,
Cekal batin menangkis sakit,
… .
(sajak “Harapan”)
Dalam sajak ini, penyajak ralit membahaskan tiga tahap harapan yang dimiliki oleh individu, iaitu kosong, lemah dan bangkit. Oleh itu, stamina perasaan dan gagasan untuk seseorang kuat dalam menempuh ranjau kehidupan bergantung pada bentuk harapan yang dipilih dan dimilikinya. Persoalan-persoalan tersebutlah yang diangkat penyajak untuk ditamsilkan oleh khalayak pembaca dalam sajak ini.
Bentuk sajak ini juga separa bebas seperti puisi “Manusia dan Fitrah” yang sebelumnya kerana ada keterikatan pada pengulangan rima akhir larik sajak walaupun tidak menyerupai bentuk pantun dan syair. Sama seperti sajak tadi, elemen ini bertujuan untuk menarik akrobatik bunyi pengulangan rima sajak. Namun impak sajak kurang harmoni kerana penyajak kurang berhati-hati dengan jalinan citra dan makna sajak. Misalnya pada frasa bergaris dalam rangkap ketiga sajak seperti berikut;
Bangkit,
Cekal batin menangkis sakit,
Zahir gigih gerakkan rakit,
Walau ujian hampir ulit,
Segunung ilmu tetap disungkit.
Kalimat “menangkis sakit” dan “gerakkan rakit” seperti tiada keharmonian/kesuaian maksud apabila ditaakul dan digambarkan. Apalagi dilanjutkan dengan kalimat “ujian hampir ulit” dan “segunung ilmu tetap disungkit”. Akrobat kata bagi menggambarkan perasaan dan gagasan dalam sajak ini terganggu oleh penggunaan imejan bercampur seperti sakit, rakit, ulit dan segunung ilmu.
Selain itu, sajak ini dibina daripada tiga rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa dan bersahaja. Pemilihan katanya mudah difahami dan telus pemaknaannya, walaupun penyajak cenderung menggunakan beberapa kata asing.
Kekerapan penggunaan kata asing atau jarang dipakai dalam menulis sajak sebenarnya kurang digalakkan kerana khuatir pembaca mudah jenuh untuk menaakul sajak tersebut. Pembacaan berjeda yang kerap kerana tersangkut pada makna kata akan memudarkan minat pembaca yang perlu menyemak kamus. Dalam sajak ini dikesan sebanyak tiga patah kata pinjaman bahasa Arab iaitu “kembah” (selerak), “khalikah” (perihal menjadikan – ciptaan Tuhan; tabiat) dan “harakah” (perjuangan). Kata “layur” (layu), “ulit” (dodoi/liat) dan “sungkit” (cungkil) pun jarang dipakai tapi maksudnya dapat ditebak apabila membaca ayat penuhnya.
Rumusnya, ketiga-tiga buah sajak yang diperkatakan tadi tetap mempunyai kekuatannya apabila dinilai daripada usia pengalaman penyajaknya. Sememangnya proses kreatif mereka juga telah berupaya menelaah kehidupan ini dengan menghasilkan sajak yang bagus tema dan persoalannya. Mudah-mudahan, mereka juga akan mengambil peduli dengan apa-apa yang telah disarankan.
Waima apa pun, potensi Norazmah Sartoni, Nadzirah Maripat dan Nurul Aiman Hamid dalam penulisan sajak ini wajar dibanggakan. Justeru masing-masing telah memperlihatkan bakat dan minat kepenyairannya. Cuma, mereka harus lebih memahami dan memaknakan akrobatik kata agar olahan perasaan dan gagasannya kelak lebih kemas dan berkarisma. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka. Tahniah dan sukses, selalu!