Oleh Rosani Hiplee
SAJAK merupakan sebuah ekspresi seni penulisan yang mengubah makna kata dalam membentuk perasaan dan pemikiran individu penulis yang simetri indah. Apabila mengolah sajak, kemahiran dan imaginatif penulis dalam memilih, menyusun serta menata makna kata memerlukan tamsilan kritis bagi menyampaikan tanggapan yang estetik. Sebuah sajak yang baik boleh membawa pembacanya ke ruang dimensi makna kata yang sensual.
Sebuah kata juga merupakan kesatuan bahasa kecil yang memiliki makna tertentu. Kata merupakan penyusun frasa dan pembangun sebuah ungkapan. Jalinan beberapa kata yang membentuk kesatuan makna dapat menampilkan suatu gagasan yang boleh dimengerti. Maka sebagai penulis sajak, jalinan kata dan makna perlu teliti dan tidak wajar diremehkan. Penyajak juga menggunakan bahasa kata untuk memperkukuh nilai estetika pada degup semantik sajak yang ditulisnya.
Selain itu, bahasa sajak wajar cenderung menggunakan kata-kata yang telus, tulus, denotatif tetapi padat dan tepat makna. Walaupun makna kata sesuai dengan kata yang dipilih, tetapi memanipulasikan kata perlu mampu membangkitkan makna yang bernuansa dan komunikatif. Justeru pemilihan diksi atau kata yang sederhana tapi memerikan pelangi warna makna yang berbeza pasti menjadikan sajak tersebut menarik dan ditaakul oleh pembaca dengan ralit.
Oleh itu, syabas kepada penulis muda seperti Aleva Anak Stephen Lek, Zumiriyah Hassim dan Abdul Wahab Jaini kerana sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera (WBS), akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas.
Dalam penulisan sajak, lazimnya penulis akan membahaskan tentang kehidupan seharian seperti cinta, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Maka, ketiga-tiga buah sajak yang disiarkan tersebut jelas berkisah tentang perasaan dan pemikiran penulis itu sendiri. Hal ini wajar kerana ungkapan sajak yang diolah pasti berbaur jujur dan mengalir sealur dengan pengalaman serta pengamatan sendiri. Kesemuanya menguliti lumrah kehidupan yang manusiawi. Mudah-mudahan nilai perasaan dan gagasan yang digarap tersebut dapat memaknakan sesuatu kepada pembacanya dengan polos.
Puisi “Baru Aku Tahu” oleh Aleva Anak Stephen Lek bertemakan cinta sepasang manusia. Sajak ini mengupas tentang keperitan antara cinta yang dikhianati dengan cinta yang tidak berbalas. Dalam rangkap awal sajak, penulis mengungkapkan sebuah kisah batin yang luka kerana putus cinta. Misalnya dalam rangkap berikut;
Baru aku tahu
Sakitnya putus cinta
Pedih dihati
Rasa diguris belati
…
Tapi beringatlah
Dia pernah menganyam cita, impian dan mimpi denganmu
Pintu dan tingkap hatinya pernah dibuka untukmu
(rangkap 1, sajak “Baru Aku Tahu”)
Menerusi dua buah rangkap seterusnya pula, penulis memperkatakan tentang peritnya penolakan cinta sebelah pihak sehingga mencalarkan keperibadian atau digniti yang manusiawi. Seperti peribahasa cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi yang lebih tragik apabila cinta yang tidak diterima, dibalas dengan penghinaan yang tirani sehingga lara jiwa semakin terdera dan cedera. Misalnya;
Baru kini aku tahu
Lebih sakit cinta ditolak
Sedih hatinya bukan kepalang
… .
Muka diconteng arang
comot hitam warnanya
Hinanya dipandang begini
(rangkap 2 dan 3, sajak “Baru Aku Tahu”)
Manakala dalam rangkap akhir sajak, penulis masih terkilan kerana walaupun cinta tidak bersambut, jangan pernah mencemuh perasaan yang ada kerana yang dipinta hanyalah kasih sayang sepasang manusia, bukanlah apa-apa yang bernilai material.
Bukan cemuhan dipinta
Hanya secubit cinta
Sejemput kasih
Secekut sayang
Tapi sejuta nista diperoleh
(rangkap 4, sajak “Baru Aku Tahu”)
Sajak ini berbentuk bebas dan dibina dalam empat rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak juga biasa. Pemilihan kata dalam sajak masih perlu diperhatikan. Justeru penggunaan unsur-unsur persajakan seperti simile, perlambangan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih sesuai dan tepat bagi memaknakan isi sajak yang lebih berjiwa indah.
Walaupun penulis terlihat cenderung dalam memanipulasikan kata namun masih terdapat beberapa baris kata dalam sajak ini yang kurang sesuai dan berlebih-lebihan semantiknya. Misalnya, dalam baris-baris sajak berikut;
Darah mengalir
Tanpa henti
Menjunam ke dasar hati
Ungkapan dalam baris tersebut terlalu berlebihan bagi menggambarkan apa yang sebenar dinyatakan. Hakikat kecewa daripada perasaan putus cinta, tidak perlu digemburkan dengan gambaran sedemikian. Pemilihan kata yang sederhana tapi memerikan makna yang dalam, lebih baik daripada luapan larva perasaan yang bukan apa-apa pada orang lain atau pembaca. Luahan yang berlebihan hanya memualkan, justeru apabila menyatakan sesuatu berhubung perasaan wajar tulus sifatnya agar orang lain lebih mengerti dengan telus.
Selain itu, penyimpulan rangkap sajak ini akan lebih baik sekiranya penyajak tidak bombastik dalam pernyataannya. Misalnya, pada baris-baris “Luka hatinya rasa dibelah/Dicincang lumat/Dikerenyet”. Perbuatan dibelah, dicincang lumat dan dikerenyet amat berlebihan bagi menggambarkan apa yang terjadi dalam rangkap sajak tersebut. Oleh itu, mohon penyajak menaakul semula pemaknaan baris-baris kata tersebut agar semantik sajak lebih rekayasa dan waras. Berkarya bukanlah berada dalam raungan emosional semata-mata tapi wajar berpaut pada rasional. Nilai keindahan karya bukanlah bersandar pada peribadi sahaja tapi juga pada suasana yang dikhalayakkan.
Sesungguhnya dalam penulisan sajak, sebaik-baiknya penulis memilih kata yang tuntas dalam penyampaiannya. Justeru, bahasa sajak bukanlah bahasa yang lewah sehingga merewang keabadian maknanya.
Sajak “Bejana Kasih untuk Pemugar Budi” oleh Zumiriyah Hassim bertemakan penghargaan terhadap jasa baik individu yang tulus berkhidmat untuk masyarakat. Pada keseluruhan sajak ini, penulis membicarakan tentang kebaktian individu barisan hadapan yang gigih, sabar dan berani menunaikan amanah dalam profesi masing-masing saat mendepani risiko pandemik covid-19. Sajak ini menarik pada kesederhanaan kata-kata yang mengutusi ekspresi penulis. Misalnya;
Memugar Budi di Taman Amalan
Mengorban diri di medan perjuangan
Menjunjung amanah dalam gendongan
Mengait bunga-bunga senyum keindahan
Menikmati bersama kemanisan sebuah kebahagiaan
Keringat diladung menjadi saksi
Airmata ditakung tumpah sendiri
Keluh dilakar di diari hati
Nyanyian alun rahsia sanubari
Mengigit jiwa yang bernada sepi
(rangkap 1 dan 2, sajak “Bejana Kasih untuk Pemugar Budi”)
Manakala dalam dua buah rangkap akhir sajak, penulis mahu menyemangati para adiwira negara agar kekar dalam perjuangan mendepani cabaran yang masih ada. Penulis turut melakarkan penghargaan sebagai mengenang kebaktian mereka yang tiada tara nilainya untuk dibalas dengan harga berupa material. Misalnya;
Pemugar Budi adiwira kami
Bejana Kasih untukmu ini
Tiada galang mengganti bakti
Hanya doa redha Izzati
Mengurniakan segala yang kau hajati
Ayuh senyumlah kembali wira kami
Usaikan lelahmu yang masih berbaki
Bawalah bejana kasih cenderahati
Tegar semangat terus berjuang untuk pertiwi
Ke langkah akhir kau pasti diingati
Terima kasih adiwira kami
(rangkap 3 dan 4, sajak “Bejana Kasih untuk Pemugar Budi”)
Pemilihan kata dalam sajak ini sangat sederhana tapi sesuai dengan pernyataan emosi penulis yang tidak lewah. Sajak ini berbentuk separa bebas kerana ada keterikatan pada pengulangan rima akhir baris sajak walaupun bukan menepati ciri syair atau pantun. Sajak ini juga dibina daripada empat rangkap yang sederhana panjangnya.
Gaya bahasa sajak bersahaja. Pemilihan kata sajak pun sederhana dan masih perlu diteliti lagi. Justeru penggunaan unsur-unsur persajakan seperti metafora, pencitraan, personifikasi dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih kekar dan segar bagi memaknakan larik sajak yang lebih menjalar malar. Misalnya, dalam rangkap pertama pada baris kata bergaris berikut;
Memugar Budi di Taman Amalan
Mengorban diri di medan perjuangan
Menjunjung amanah dalam gendongan
Mengait bunga-bunga senyum keindahan
Menikmati bersama kemanisan sebuah kebahagiaan
Huruf “B” pada kata “Budi” sebaiknya ditaip huruf kecil, ia bukannya penggunaan nama khas. Begitu juga dengan perkataan “Taman Amalan”, wajar menggunakan huruf kecil semua, ia pun bukan penggunaan nama khas. Kata “mengorban” dalam konteks ayat bagi baris sajak tersebut pula agak klise. Barangkali kata “mempertaruh” lebih sesuai digunakan. Manakala kata “gendongan” dalam baris ketiga sajak pun kurang harmoni. Maka disarankan penggunaan kata “ancaman” kerana semasa pandemik, tahap keselamatan individu sangat bahaya dan terancam. Seterusnya, dua buah baris sajak berikutnya, “Mengait bunga-bunga senyum keindahan/Menikmati bersama kemanisan sebuah kebahagiaan” seperti tiada perkaitannya dengan baris-baris sajak yang sebelumnya. Kecuali sekiranya baris-baris sajak tersebut diolah begini, “menyaksikan bunga-bunga harapan/memberi bahagia kehidupan masa depan.”
Sememangnya, semasa mengolah sebuah sajak yang baik, penulis perlu teliti dan berhati-hati dalam pemilihan serta penataan kata yang dijalin agar makna kata tersebut berupaya mendegupkan tema dan persoalan sajak dengan menyeluruh dan utuh.
Terakhirnya ialah sajak “Gerimis Merdeka” oleh Abdul Wahab Jaini, sebuah sajak yang bertemakan kemerdekaan negara. Pada awal rangkap sajak, penulis menikmati rasa damai yang indah pada suatu pagi walaupun dalam renyai gerimis. Misalnya;
Indahnya pagi ini
Alam semesta di gerimis pagi
Dingin dan nyaman
Membuai jiwa membelah aman
Manakala dalam baris sajak selanjutnya, penyajak berusaha membangkitkan semangat dan hakikat kebanggaan apabila kita masih layak berdiri di bumi sendiri yang merdeka. Misalnya;
Di sinilah ku berdiri
Berpasak di kaki bumi
Berpencak di hujung jerami
Bukan menaut momokan pagi
Mendengar kabut ribut pagi
Kau pakukan kakiku ke tanahmu
Biar berdarah seluas gangga
Agar tak bisa diterpa oleh mereka yang mahu mengusirku keluar
Di sinilah kita berdiri
Bersama menyemai hati sanubari
Menjunjung titah sang purbawi
… .
Bentuk sajak ini bebas dan dibina daripada sebuah rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa dan masih memerlukan penelitian semula agar makna kata sajak lebih menyeluruh elemennya. Pemilihan kata sajak pula mudah difahami. Sebaik-baiknya, penulis bersedia memanfaatkan manipulasi kata yang lebih dalam maknanya pada keseluruhan isi dan naratif dalam sajak ini. Oleh itu, sangat digalakkan agar penulis mahu membaca sajak-sajak penulis mapan yang diminati agar penulis dapat menemukan proses pemaknaan yang lebih tuntas dan bernuansa.
Apabila membaca judul “Gerimis Merdeka”, membawa makna yang sepoi dan pesimis untuk sebuah sajak yang bertemakan kemerdekaan. Kata “gerimis” dengan sendirinya memberikan persepsi yang kurang menghangatkan kerana suasana gerimis lazimnya dikaitkan dengan suasana teduh dan basah.
Selain itu, kata-kata yang dipilih dan ditata dalam sajak ini masih longgar pemaknaannya apabila baris-baris sajak ini ditaakul dengan teliti. Penulis perlu memahami makna kata yang dipilih dengan tuntas sebelum melarikkannya menjadi ungkapan dalam rangkap sajak. Misalnya pada kata yang bergaris berikut, “Alam semesta di gerimis pagi”, “Membuai jiwa membelah aman”, “Berpasak di kaki bumi/ Berpencak di hujung jerami/ Bukan menaut momokan pagi/ Mendengar kabut ribut pagi/ Biar berdarah seluas gangga/ Bersama menyemai hati sanubari/ Menjunjung titah sang purbawi/ Kau patrikan nyawaku dan Biar menyulam rasa bersatu”.
Kata “semesta” tidak sesuai digunakan dalam baris sajak ini kerana semesta meliputi ruang atmosfera yang melebihi planet bumi. Penggunaan kata sendi “di” adalah salah. Pemilihan frasa “membelah aman” kurang sesuai dengan jalinan frasa sebelumnya, barangkali frasa “membelai damai” lebih baik apabila menggambarkan suasana yang cuba ditampilkan. Makna frasa “kaki bumi” dan hujung jerami” sukar difahami apabila membaca jalinan baris kata sebelum dan sesudahnya.
Baris “menaut momokan pagi” dan “kabut ribut pagi” pun tidak membayangkan semantik sajak. Momok dan ribut, jalinan kata yang kontras. Kata “gangga” tidak mempunyai makna dalam kamus, jika yang dimaksudkan oleh penulis ialah Sungai Gangga, maka nama khas tersebut perlu jelas digunakan. Namun hubung kaitnya dengan makna rangkap sajak masih kurang telus. Penggunaan kata “hati sanubari” adalah lewah kerana merujuk pada makna yang sama. Pernyataan “titah sang purbawi” juga mengelirukan dalam pemaknaan sajak kerana purbawi tidak mempunyai makna dalam kamus, kecuali jika penulis menggunakan Sang Sapurba barulah ada kaitan dengan perjanjian Demang Lebar Daun seperti dalam buku Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu. Manakala frasa “patrikan nyawaku” dan “menyulam rasa” pun bukanlah jalinan makna yang sesuai bagi kata patri dan sulam.
Semoga dengan teguran dan saranan yang ada, penulis dapat memahami apa yang mahu disampaikan dengan berlapang rasa dan tanggapan. Rumusnya, ketiga-tiga buah sajak yang dibicarakan tadi masih mempunyai kekuatannya apabila dinilai daripada angka usia pengalaman penulis masing-masing. Semoga para penulis muda ini terus bersedia terampil dengan hasil sajak yang ingin diolahnya dengan memanfaatkan sepenuhnya kesesuaian kata dan makna yang tuntas.
Sesungguhnya, bakat dan minat Aleva Anak Stephen Lek, Zumiriyah Hassim dan Abdul Wahab Jaini dalam genre sajak ini boleh diberi ruang dan peluang yang lebih serius lagi. Justeru masing-masing berpotensi dalam memperlihatkan nilai kepenyairan diri. Cuma mereka harus lebih memahami pemilihan kata dalam menulis sajak agar olahannya kelak lebih komunikatif dan sarat makna. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka. Syabas dan sukses, selalu!