Oleh Rosani Hiplee
PENULISAN sajak merupakan ungkapan batin penulis terhadap apa-apa yang menggetar rasa atau fikirannya. Justeru, momen-momen tertentu dalam kehidupan pasti mengocak ketenangan pada waktu-waktunya. Oleh itu, penulis yang tulus tidak mudah menuliskan ungkapan kata yang telus, sebaliknya menaakul makna jiwa dengan tidak sebatas perasaan yang polos.
Menurut H.B. Jassin, sajak itu ialah suara hati penyairnya. Sajak lahir daripada jiwa dan perasaan tetapi sajak yang baik bukanlah hanya permainan kata semata-mata. Sajak yang baik membawa gagasan serta pemikiran yang dapat menjadi renungan masyarakat.
Ungkapan kata yang penuh makna boleh menjadi sumber inspirasi untuk bangkit daripada kemurungan emosi. Meski hanya sebatas kata-kata, apabila diresapi magis, maknanya pasti menimbulkan kepercayaan diri dan menguatkan kembali tekad seseorang. Oleh itu, menerusi ungkapan yang bukan sebatas kata, makna kalimat tersebut pasti membuat seseorang bertenaga untuk lebih tegar dan segar kerana memiliki tafsiran baharu dalam fasa kehidupan yang dijalaninya.
Sememangnya, sajak bukan hanya sebatas kata-kata yang mengutus emosi tetapi lebih daripada itu. Sajak merupakan ungkapan perasaan yang dijalinkan dengan gagasan yang diperindah dengan elemen gaya bahasa agar kata-kata yang diolah berupa artistik dan membekas sensual makna di jiwa pembacanya.
Genre sajak akan mengembangkan kepekaan perasaan penulis dalam mentafsir pelbagai aspek rutin kehidupan. Apabila mempelajari penulisan sajak, penghayatan terhadap makna kata yang dipilih wajar difahami oleh penulis. Proses penghayatan dapat dikembangkan melalui pembacaan. Membaca sajak tidak hanya sekali tetapi diperlukan berulang kali sehingga penghayatan dapat meresapi makna kata yang mahu disampaikan oleh penulisnya.
Keterampilan menulis sajak dapat dipertingkatkan dengan kegiatan literasi puisi. Pemilihan diksi (kata) dan pembinaan imaginasi ketika menulis sajak merupakan elemen penting bagi mewujudkan kredibiliti dalam menggunakan percitraan dan majas yang diolah. Sajak bukan hanya sebatas kata-kata yang mengutus emosi tetapi juga makna tepu kata sajak itu sendiri.
Maka jelaslah bahawa dalam penulisan sajak, kata-kata bukanlah sebatas rasa tetapi pemaknaan kata juga amat dipedulikan. Oleh itu syabas kepada penulis muda seperti Azreen Azirah, Dalia Kasim dan Ramzi Junai kerana sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera, akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas.
Ketiga-tiga buah sajak yang disiarkan mengungkapkan lingkungan kehidupan yang alamiah dalam kehidupan yang manusiawi. Kesemua sajak bertamsil tentang proses rutin kehidupan peribadi yang dijalani. Mudah-mudahan nilai perasaan dan pemikiran yang diolah tersebut berupaya memaknakan sesuatu kepada pembacanya. Sememangnya terdapat beberapa persoalan yang diolah dalam sajak-sajak tersebut berupaya membawa khalayak pembacanya ke ruang pemikiran yang kritis.
Sajak “Naskah Kiriman Rindu” oleh Azreen Azirah bertemakan kerinduan penulis terhadap seseorang yang telah pergi dan takkan kembali lagi. Sajak ini menguliti ruang rindu yang sunyi tapi harus dihadapi dengan tabah. Dalam sajak ini, penulis jelas menukilkan suasana hening yang sendu. Misalnya dalam rangkap berikut;
Tatkala sendu beradu di kalbu
lafaz syahdu mengiringi hembus nafas yang bisu
memuji-Nya dengan zikir persis irama lagu
aku rapuh dalam buntu dan ragu.
(rangkap 1, “Naskah Kiriman Rindu”)
Dalam rangkap pertama sajak, penulis menukilkan kesedihan jiwanya yang disandarkan pada ketentuan Tuhan. Penulis mencari kekuatan batinnya lewat zikir kepada-Nya.
Demikian juga dalam rangkap kedua sajak, penulis berpandangan telus dengan berusaha untuk merelakan rasa yang terbuku di hati dengan tulus berdoa kepada-Nya. Kepasrahan jiwa penulis telah menemukan sesuatu yang boleh mengikhlaskan dirinya terhadap hal yang terjadi. Misalnya;
Terbuai dek embun bayu peneman kala subuh itu
kupejamkan mata merelakan segala yang terbuku
beralaskan tikar baldu hadiah terakhirmu
kuutuskan bacaan senaskah kiriman rindu untukmu.
(rangkap 2, “Naskah Kiriman Rindu”)
Manakala dalam rangkap akhir sajak, penulis menyatakan pasrah dirinya kerana percaya kudratnya tak akan dapat mengatasi iradat Tuhan yang akan memberikan hikmah dalam pelajaran kehidupan baharunya. Misalnya;
Pinta hatiku agar kau kembali bersamaku
namun siapalah aku mengingkar takdir Yang Maha Satu
mungkin tersisip rencana baru rekayasa hidupku
mengajarku erti rindu tak harus bertemu.
(rangkap 3, “Naskah Kiriman Rindu”)
Sesungguhnya, sajak ini berusaha menampilkan kepada pembaca tentang hakikat dan rahmat yang tersirat dalam sesuatu peristiwa yang menyakitkan. Dalam maksud lain, penulis menyarankan keharusan berpandangan positif terhadap apa-apa jua kejadian yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Sajak ini berbentuk separuh bebas kerana ada keterikatan pengulangan rima akhir yang sama seperti syair. Sajak ini dibina daripada tiga buah rangkap yang agak sederhana baris-barisnya. Gaya bahasa sajak ini biasa dan bersahaja. Pemilihan diksinya mudah difahami. Penggunaan gaya bahasa sajak seperti simile, perlambangan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih terampil dan menarik lagi. Sebagai contoh dalam rangkap pertama sajak, baris “memuji-Nya dengan zikir persis irama lagu” disarankan agar ditulis begini “memuji-Nya dengan zikir persis kasidah rindu”. Penggunaan “irama lagu” kurang sesuai jalinannya dengan perumpamaan berzikir kerana perbuatan zikir bermaksud memuji Tuhan, maka susila kata perlu harmoni.
Dalam sajak ini, penyajak perlu memurnikan juga olahan baris sajak agar naratif pemaknaannya lebih menarik dan puitis. Misalnya dalam baris “Terbuai dek embun bayu peneman kala subuh itu”, penggunaan frasa “embun bayu” bukanlah pilihan makna yang tepat apabila ditamsilkan sebagai metafora. Sekiranya penulis menggantikan kata “bayu” kepada “sayu”, dipercayai lebih sesuai pemaknaannya.
Selain itu, ejaan kata “naskhah” juga salah. Ejaan yang betul ialah “naskhah”. Semoga penulis peduli pada ejaan setiap kata yang digunakan dalam sajak agar mutu sajaknya dijaga baik kerana sajak bukanlah karya berjela seperti cerpen dan novel. Maka, menyemak ejaan kata yang digunakan tidaklah terlalu membebankan dan merupakan tanggungjawab dan etika penulis yang berdedikasi terhadap dunia kata-kata.
Sajak “Khilaf” oleh Dalia Kasim pula bertemakan hubungan insan yang manusiawi. Pada keseluruhan sajak, penulis membicarakan tentang kehidupan yang menua dengan mengenang beberapa kesilapan peribadi yang pernah dilakukan sepanjang usia di dunia yang fana ini. Misalnya;
Hingga waktu lena senja
kisah pahit tak sudah
dihidangkan cangkir bisu
sedang seteguk suam dihirup
mengalirkan jua bara gusar
ketika permintaan jadi kemestian
bukan sekadar permainan teka kata
menuang dalam diam.
Sebalik bancuhan berjamu pandang
butir kemanisan tumpah
pedihnya pernah menghitung ragu
membekas lalu sembunyi
setelah kita takungi
lantas melimpahkan percaya
sisa-sisa khilaf dingin
kelmarin mengucur tulus.
(rangkap 1 dan 2, “Khilaf”)
Sajak ini juga berbentuk bebas dan menepati kriteria puisi moden. Tiada keterikatan pada rimanya. Terbina daripada dua buah rangkap yang sederhana panjangnya.
Gaya bahasa sajak biasa dan sederhana. Pemilihan katanya mudah difahami cuma jalinan makna sajak kurang kemas dan harmoni. Maka apabila menghasilkan sajak sederhana seperti ini, penulis perlu mengambil risiko yang tinggi terhadap kekuatan dan kemampuan pemilihan kata yang digunakan. Begitu juga elemen-elemen sajak yang digarap harus malar dan menjalar segar.
Dalam sajak ini, penulis seperti terlihat cermat dalam pemilihan kata sehingga tidak menampakkan kata yang lewah. Tapi pemaknaan kata sajak cukup tersasar kerana penulis seperti kurang mengamati kekuatan makna kata yang digunakan. Misalnya, baris kata bergaris berikut, “Hingga waktu lena senja/kisah pahit tak sudah/dihidangkan cangkir bisu/ sedang seteguk suam dihirup/mengalirkan jua bara gusar”. Penggunaan kata “senja” dalam sajak ini melambangkan masa menua yang singkat tempohnya, namun cerita pahit atau sulit masih lanjut dihadapi. Dua baris tersebut dapat difahami maknanya. Tetapi pada baris berikutnya, sajak ini tergantung pada maknanya apabila “dihidangkan cangkir bisu/ sedang seteguk suam dihirup”. “Cangkir bisu” bukanlah padanan metafora dan citra yang sesuai dengan makna baris sajak yang sebelumnya. Begitu juga dengan personifikasi dan imejan “seteguk suam dihirup”. Penggunaan frasa “mengalirkan jua bara” bukanlah jalinan sifat kata yang tepat kerana bara tidak mengalir, larva yang mengalir. Malah, penggunaan kata bara dalam rangkap tersebut pun tidak sesuai dengan ungkapan yang dijalinkan. Oleh itu, mohon penulis menaakul semula pilihan dan olahan kata dalam baris sajak tersebut agar pemaknaan sajak tidak celaru dan kabur.
Dalam rangkap kedua sajak juga, permasalahan yang serupa ditemukan. Oleh itu, mohon penulis bersedia mengamati semula baris bergaris berikut, “Sebalik bancuhan berjamu pandang/butir kemanisan tumpah/pedihnya pernah menghitung ragu”. Apakah yang dimaksudkan dengan “bancuhan berjamu pandang”? Apakah perkaitan makna antara “butir kemanisan” dengan “pedihnya pernah menghitung ragu”? Bagaimanakah sifat manis boleh memedihkan? Percayalah bahawa dalam penulisan sajak, kata-kata bukanlah sebatas rasa yang dikhalayakkan, tapi juga sebatas makna yang sarat.
Terakhirnya, sajak “Pencak Pahlawan” oleh Ramzi Junai, sebuah sajak yang bertemakan semangat cintakan negara dengan mengenang jasa pahlawan leluhur dalam mempertahankan maruah negara. Dari larik ke larik sajak, penulis larut dengan persoalan perjuangan pahlawan leluhur dalam mendapatkan kemerdekaan bangsa demi generasi hari ini. Misalnya;
Tanah ini pernah menyaksikan
mulianya pencak pahlawan
menggenggam keris di tangan
biar darah berlumuran
nyawa menjadi taruhan
Jasad bergelimpangan
anak isteri ditinggalkan
air mata berlinangan
dahaga dan kelaparan
namun tiada ketakutan
mengerah segala urat pengorbanan
demi teguhnya perjuangan
menagih sebuah kemerdekaan
gugurmu lambang kebanggaan
memorimu kekal di ingatan
kita tidak merasai bebanan
jauh sekali kepayahan dan kesukaran
hanya bertempik kegirangan
kencangnya suara laungan
… .
(sajak “Pencak Pahlawan”)
Dalam separuh baris akhir sajak, penulis memperingatkan generasi hari ini dan akan datang agar tidak melupakan jerih perih dan pengorbanan pejuang leluhur demi kesenangan dan maruah yang dinikmati kini. Persoalan tersebut walaupun tampak biasa tapi sebenarnya sebuah kritis pemikiran dan perasaan yang patriotik. Misalnya;
…
bersama menelusuri kenangan
menghayati kesenangan
menghargai kedamaian
utuh menjadi anak watan
tidak lupa daratan
usah lena dibuai keasyikan
agar azimat keramat ini tidak dilupakan
bukan sekadar ungkapan khayalan
kekal segar sepanjang zaman
(sajak “Pencak Pahlawan?”)
Bentuk sajak ini separa bebas kerana adanya keterikatan pengulangan pada rima akhir sajak seperti syair. Sajak ini dibina daripada sebuah rangkap yang panjang. Gaya bahasa sajak ini biasa dan bersahaja. Pemilihan katanya pula agak langsung dan mudah difahami.
Selain itu, persoalan-persoalan yang digarap dalam sajak ini menarik dan bersemangat sebagai usaha menyeru generasi kini agar tidak mensia-siakan sejarah perjuangan dan pengorbanan pahlawan leluhur demi kesenangan yang dinikmati sekarang. Seperti lazimnya, sebagai penulis pemula, maka kematangan berkarya masih perlu diperbaiki agar olahan kata tidak klise dan bombastik. Misalnya dalam larik seperti “biar darah berlumuran/nyawa menjadi taruhan/ jasad bergelimpangan.”
Sesungguhnya dalam penulisan sajak, kesederhanaan ungkapan tetap menarik sekiranya kata-kata yang dipilih bukan sebatas perasaan sahaja tapi mencakupi ruang lingkup makna yang konkrit dan harmoni apabila ditaakul dengan sepenuh jiwa utuh yang merinding.
Rumusnya, ketiga-tiga buah sajak yang dibicarakan tadi tetap mempunyai kekuatannya apabila dinilai daripada tempoh usia pengalaman penulisnya. Sememangnya tamsilan mereka juga telah berupaya menelaah kehidupan ini dengan menghasilkan sajak yang bagus tema dan persoalannya. Mudah-mudahan, mereka terus berusaha dengan memberi perhatian terhadap hal-hal yang telah dinyatakan ini.
Waima apa pun, potensi dan kecenderungan Azreen Azirah, Dalia Kasim dan Ramzi Junai dalam penulisan sajak wajar dibanggakan. Justeru masing-masing berkemampuan dalam memperlihatkan bakat dan minat kepenyairannya. Hanya mereka harus lebih memahami gaya bahasa dalam sajak, terutama penggunaan metafora dan imejan agar olahannya kelak lebih terampil dan bertenaga. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka. Syabas dan sukses, selalu!