Oleh ROSANI HIPLEE
SAJAK dengan tema yang pelbagai, sangat mudah ditemui dan dibaca dalam media cetak atau laman web. Antaranya ialah sajak yang berkisahkan kehidupan di muka bumi ini. Dalam sajak tentang kehidupan, akan ada inspirasi yang diolah menjadi sajak. Misalnya keindahan alam, suasana persekitaran, perhubungan dan sebagainya. Daripada sajak-sajak sedemikian, dapat dipelajari mengenai hakikat Tuhan yang telah menciptakan alam semesta dan kehidupan yang manusiawi ini.
Beranjak daripada perkara tersebut juga, sajak yang menukilkan kehidupan akan menampilkan filsuf mengenai kehidupan dan makna yang terkandung di dalamnya. Justeru, melalui rangkap-rangkap sajak yang berjiwa, akan dirasai banyak hal yang memaknakan penghayatan.
Bagi individu yang mampu mengungkapkan perasaannya melalui sajak, maka ditemukan sajak yang pelbagai tema. Misalnya tentang cinta, sahabat, ibu, kucing dan seumpamanya. Salah satu tema sajak yang sering diolah ialah mengenai kehidupan yang dijalani kerana tema tersebut sangat intim dan sensual dalam dirinya. Sementara bagi individu yang tidak memiliki bakat untuk menuliskan perasaan ke dalam bentuk sajak, cukup baginya dengan hanya menikmati sajak sebagai sebuah karya sastera yang indah.
Selain itu, sajak tentang kehidupan biasanya menggambarkan suasana kehidupan individu yang dinamik dan menarik untuk ditamsilkan. Justeru kehidupan itu memiliki kerahsiaan yang bakal diungkapkan oleh takdirnya sendiri. Mudah-mudahan dengan perkongsian pengalaman hidup menerusi karya akan saling menginspirasikan penulis dan pembacanya.
Kehidupan yang manusiawi juga tidak hanya berlatarkan kegembiraan, namun juga kesedihan yang memungkinkan inspirasi untuk diolah dalam rangkap sajak. Justeru tema kehidupan itu menghampar luas, sehingga boleh mengilustrasikan keindahan nilai-nilai makna yang difahami untuk dirangka dan direnungkan. Sama ada berdasarkan pengalaman penulis ataupun pembaca. Seperti kata Percy Bysshe Shelley (1792-1822):
“Puisi ialah rakaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya, peristiwa-peristiwa yang membahagiakan, yang menggembirakan, yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan kerana kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk dirakamkan sebagai puisi.”
Sesungguhnya sajak ditulis sebagai kaedah untuk memahami selirat kehidupan yang dapat dijadikan perenungan dan pelajaran dalam proses menjalani kehidupan yang ada. Sebuah sajak mungkin menjadi semangat dalam mencari resolusi persoalan yang menghadirkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam berfikir. Renungan yang mampu meningkatkan pemahaman terhadap kiasan kehidupan yang menginspirasikan pembaca.
Oleh itu, syabas kepada penulis baharu seperti William Muge Anak Acheh, Nur Haniza Jamil dan Mohammad Iskandar bin Spawi kerana sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera (WBS), akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lalu. Ketiga-tiga buah sajak yang disiarkan tersebut jelas berkisah tentang pengalaman hidup yang dijalani dengan indah dan bermakna. Kesemuanya berproses tentang naratif kehidupan yang manusiawi seperti yang ditakrif oleh penyair Percy Bysshe Shelley pada sebelumnya.
Sajak “Basikal Tua” karangan William Muge Anak Acheh bertemakan kehidupan seorang lelaki yang telah berjuang untuk kelangsungan hidup keluarga yang digalasnya semasa muda. Dalam rangkap awal sajak, penulis mengungkapkan sebuah naratif yang manusiawi persoalannya. Misalnya dalam rangkap berikut;
Menenggek sepi di gigi tangga
Merenung basikal tua
Yang hampir reput dimamah karat
… .
(sajak “Basikal Tua”)
Menerusi larik sajak seterusnya, penulis masih larut dengan kenangannya bersama-sama basikal tua yang amat berjasa dalam menyara keluarganya. Misalnya;
…
Dahulu basikal inilah kebanggaanku
Sumber rezeki menyara keluarga
Ke hulu ke hilir membawa beban
Demi sesuap nasi
Deringan locengnya
Alunan kayuhannya
Dari kejauhan
Pasti didengari
Menggamit keriangan anak-anak
… .
(sajak “Basikal Tua”)
Manakala dalam larik-larik akhir sajak, penulis menjadi sangat berjiwa apabila membandingkan kudrat takdir diri dan basikalnya yang juga telah menua seturut peredaran masa. Misalnya;
…
Basikal tua ini dan kisahnya
Terperuk diam seribu bahasa
Terpadam dalam kenangan
Kaulah basikal tuaku
Sentiasa menjadi kesayanganku
Melihat engkau untuk menyelami diriku
Merenung sisa-sisa waktu
Adakah aku juga akan sepertimu
Apabila tiba masanya nanti.
(sajak “Basikal Tua”)
Sajak ini berbentuk bebas dan dibina dalam satu rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa. Pemilihan kata dalam sajak ini walaupun tampak hemat tetapi masih perlu diperkukuhkan pemaknaannya. Justeru penggunaan unsur-unsur persajakan seperti simile, perlambangan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih segar dan tegar bagi memaknakan naratif sajak. Penulis disarankan agar mahu membaca sajak penulis-penulis mapan yang digemarinya bagi lebih memahamkan diri tentang proses pemilihan kata yang lebih menarik dan estetik. Perkara ini penting bagi mengelak penggunaan ungkapan kata yang lewah dan skema semasa menulis sajak.
Larik sajak bergaris berikut boleh diperkemas dan dimurnikan agar lebih mendasar maknanya. Misalnya;
…
Terpadam dalam kenangan
Kaulah basikal tuaku
Sentiasa menjadi kesayanganku
Melihat engkau untuk menyelami diriku
Merenung sisa-sisa waktu
Adakah aku juga akan sepertimu
Apabila tiba masanya nanti.
Ungkapan kata “Terpadam dalam kenangan” memerlukan penambahan kata yang lebih bermakna. Sebagai saranan ia ditulis “terpadam dalam kenangan mereka” kerana hanya lelaki tua itu masih mengingati jasa basikal tersebut. Begitu juga dengan ungkapan “basikal tuaku/sentiasa menjadi kesayanganku” jika dijadikan metafora pasti lebih menarik. Misalnya “basikal usiaku/ sentiasa menjadi diriku”. Manakala larik “Adakah aku juga sepertimu” perlu diberikan tanda soal, iaitu “sepertimu?”.
Sememangnya, proses kreatif bukanlah cuma menyatakan sesuatu yang tersurat tanpa memuatkan yang tersirat. Nilai keindahan karya bukanlah berpaut pada emosi sahaja tapi pada kebenaran yang jelas tulus juga. Waima apa pun, naratif basikal tua ini menarik dan mempunyai pesan moral yang tinggi manusiawinya kepada pembaca. Pemilihan tema dan persoalan dalam sajak ini mampu mengajak pembaca untuk terus bertamsil terhadap nilai kemanusiaan walaupun kepada sesuatu yang bersifat benda.
Sajak “Damainya Alam yang Indah” olahan Nur Haniza Jamil ini bertemakan lingkungan kehidupan yang sungguh berharga, sebuah anugerah yang perlu dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan kehidupan masa depan. Pada keseluruhan sajak, penulis hanya berkisah tentang nilai yang ada dalam kehidupan di mayapada ini. Misalnya;
Ciptaan tulus kurniaan yang Esa
Penenang hati yang gundah gulana
Memberi seribu ketenangan sanubari
Membuat hati sentosa sentiasa
… .
(Sajak “Damainya Alam yang Indah”)
Manakala dalam larik-larik akhir sajak, penulis merafak syukur dan berharap agar lingkungan alam sekitar tetap dipelihara agar generasi pewaris masih dapat menikmati segala keindahan dan kedamaian yang pernah dinikmati hari ini. Misalnya;
…
Syukur di atas kurnia-Nya
Menikmati alam indah nan damai
Peliharalah alam sekitar
Agar dapat sentiasa dirahmati
Warisan generasi masa mendatang
Menjadi pelapis kesejahteraan alam.
(Sajak “Damainya Alam yang Indah”)
Pemilihan kata dalam sajak ini cukup bersahaja dan sesuai dengan suasana hati penulis yang tidak berlebih-lebihan sehingga boleh merimaskan pembaca. Sajak ini berbentuk bebas kerana tiada keterikatan pada pengulangan rima akhirnya seperti syair mahupun pantun. Sajak ini juga dibina daripada sebuah rangkap yang sangat sederhana berbanding sajak yang awal tadi. Naratif dalam sajak ini pun seputar lingkungan alam yang indah dan damai sahaja.
Gaya bahasa sajak ini langsung dan mudah difahami. Namun pemilihan katanya masih sesuai. Waima demikian, disarankan agar penulis banyak menghayati gaya penulisan sajak-sajak penulis tersohor lain agar bahasa sajak penulis lebih terampil dan lebih bersifat tersirat. Sebagai sajak yang mempunyai naratif, sajak ini lulus namun pengisian dan pemaknaan sebagai sajak yang komunikatif dengan nilai perasaan dan gagasannya kurang menyerlah. Justeru sajak ini sangat peribadi sifatnya. Naratif penulis tidak berkembang bagi membolehkan pembaca untuk menemukan sesuatu yang lebih segar dan mekar sebagai karya kreatif yang boleh dinikmati dengan berjiwa. Sebagai individu yang imaginatif, sewajarnya penulis mengolah gambaran kehidupan tersebut menjadi sesuatu yang tersirat sehingga pembaca terbawa bersama-sama untuk memikirkan apa di sebaliknya. Seperti angin yang berhembus tanpa rupa tapi terasa adanya.
Terakhir ialah sajak “Bintang Hati” nukilan Mohammad Iskandar bin Spawi, sebuah sajak yang bertemakan bapa. Dalam sajak ini, penulis menukilkan pengalaman pertamanya bergelar bapa. Penulis berkisah tentang perasaan saat-saat menunggu kelahiran zuriat pertamanya. Pada awal rangkap sajak, penulis mengisahkan momen indah tersebut. Misalnya;
Saat menunggu kelahiranmu
Aku selalu dan senang melihat kerdipan bintang di langit malam
Menghilang resah detik engkau memasuki sembilan purnama
Mencari hut pengganti hamal
menjadi tanda bermula musim bunga di hemisfera utara
… .
(Sajak “Bintang Hati”)
Manakala dalam larik-larik selanjutnya, penulis menceritakan suasana alam semesta ketika detik-detik kelahiran anaknya. Misalnya;
…
Mentari saat ini terbitnya seakan tepat di ufuk timur
Melakar edar membulat di atas jumantara
Zawal ini engkau hadir ke dunia
dengan laungan azan tanda gelincir kiraan waktu pertama
Menghadiah senja di langit barat nan indah dipandang mata
Separa Syaaban yang bakal membias cahaya terang purnama
Yang terkadang hilang di sebalik awan – awan hitam
Mengiringi sang bulan yang tidak terlihat mendekati saat tuanya
menyantuni Ramadan, jauza dan sartan gah memberi kilauan menandakan ia tetap ada
… .
(Sajak “Bintang Hati”)
Manakala dalam larik-larik akhir sajak, penulis menyatakan rasa gembiranya kepada alam maya dengan mengkhabarkannya kepada gugusan bintang di langit tentang kelahiran anaknya yang telah dinanti sekian waktu. Misalnya;
Wahai Al – Babadur, ketahuilah anakku lahir saat ini
Wahai Al-Mintaka, amanahku adalah seorang puteri
Wahai sang kejora, kuatkanlah kilauan di langit barat agar tidak tersesat di gelap dunia
Inginku khabarkan hingga ke pinggir alam yang tetap berkembang ini
Hanya aku punya rasa gembira saat engkau lahir ke dunia
Dengan melihat tanda kebesaran ciptaan -Nya
Lahirlah sebagai hamba-Nya ke dunia.
(Sajak “Bintang Hati”)
Bentuk sajak ini juga bebas dan dibina daripada sebuah rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak ini biasa dan penulis perlu memanfaatkan lebih banyak unsur persajakan tersebut. Oleh itu disarankan agar penulis bersedia untuk membaca lebih banyak sajak penulis lain bagi lebih memahami teknik penulisan sajak yang menarik dan menyeluruh daripada segi kekuatan perasaan dan pemikiran dalam naratif sajaknya yang lain kelak.
Pemilihan kata dalam sajak pun agak langsung, walaupun penulis ralit cenderung menggunakan beberapa penggunaan kata asing yang tidak ditemukan maknanya dalam Kamus Dewan seperti hut, hamal, Zawal dan jauza. Malah penulis juga menggunakan istilah falak atau astronomi untuk nama buruj atau bintang seperti Al-Babadur dan Al-Mintaka yang merupakan nama untuk sederet tiga biji bintang (Bintang Tiga Beradik). Hal ini barangkali kerana penulis mahu mengaitkannya dengan bintang hatinya, iaitu anak yang baru dilahirkan itu. Olahan sajak ini menarik kerana penulis telah memanfaatkan ilmu astronomi dengan detik-detik kelahiran anaknya. Namun jika penggunaannya berlebihan boleh merimaskan pembaca kerana memaksa pembaca untuk banyak kali menyemak istilah-istilah ilmu falak tersebut.
Selain itu, sebagai penulis pemula adalah lebih baik sekiranya penulis bersedia menerima beberapa teguran kecil yang boleh memurnikan lagi kriteria pemilihan kata dalam sajaknya. Misalnya penggunaan kata ganti diri pada larik kedua dan ketiga sajak, iaitu “Aku selalu …” diganti dengan “Abi selalu …” dan “engkau memasuki …” diganti dengan “anakku memasuki …” kerana apabila dibaca akan terasa nilai kasih sayang antara bapa dan anaknya dengan panggilan sedemikian. Begitu juga pada larik akhir sajak, iaitu “Lahirlah sebagai hamba-Nya ke dunia.” ditukar kepada “lahirlah sebagai khalifah kecil ke dunia”. Justeru penggunaan antara kata hamba dan khalifah, memberi pemaknaan yang berbeza dan mendasar.
Dalam menulis sajak, selain peka terhadap naratifnya, penulis juga harus peka terhadap rasa atau jiwa kata yang digunakan dalam proses menulis. Jika penulis tidak bersikap menguasai makna kosa kata dengan baik, maka sukarlah untuk penulis menggambarkan bayangan cerita tersebut dalam bentuk penulisan kreatif yang imaginatif dan komunikatif. Oleh itu, penulis tidak seharusnya mengangkat setiap sudut naratif yang di taakulnya itu dengan ungkapan secara langsung. Penulis wajar menampilkan sudut-sudut tertentu bagi menarik hati dan fikiran pembaca terhadap olahan ceritanya dengan kreatif dan indah.
Waima apa pun, sajak-sajak yang disiarkan tersebut tetap mempunyai kewibawaannya apabila dinilai daripada pengalaman penulis masing-masing. Semoga para penulis baharu ini makin terampil dengan hasil sajak yang ingin diolahnya dengan memanfaatkan sepenuhnya naratif kehidupan yang manusiawi dengan teknik penulisan yang semakin matang dan bijaksana.
Oleh itu, kebolehan dan minat William Muge Anak Acheh, Nur Haniza Jamil dan Mohammad Iskandar bin Spawi dalam genre sajak ini wajar diberikan ruang dan peluang yang lebih melebar. Justeru masing-masing berpotensi dalam memperlihatkan jiwa penyajaknya. Hanya mereka perlu mempertingkatkan diri dengan lebih memahami teknik penulisan sajak agar olahan karyanya kelak lebih kukuh dan sarat makna yang bukan selapis. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka. Syabas dan sukses, selalu!