

MENULIS sajak merupakan salah satu wadah untuk menumpahkan perasaan dan gagasan. Namun penulis perlu berhemah dalam berbahasa agar pembaca tidak kewalahan menatanya.
Justeru apabila menulis sajak, penulis perlu berkomunikasi dengan sebaik-baiknya bagi menyuratkan apa-apa yang tersirat daripada dalam dirinya kepada pembaca. Kehalusan nilai puitika pemikiran dan perasaan penulis pasti diungkapkan dengan sepenuh keindahan manusiawinya yang artistik.
Menurut Herman J. Waluyo, puisi merupakan bentuk karya sastera yang mengungkapkan fikiran dan perasaan penyair secara imaginatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan struktur fizik dan batinnya.
Selain itu, menulis sajak juga seperti menari dalam hujan. Hujan digambarkan sebagai tema yang sedang melanda jiwa penulis yang terusik oleh cuaca persoalan hatinya.
Selagi tidak diharungi dengan tuntas, penulis pasti keresahan tanpa batas. Dalam keresahan, menulis menjadi pelarian yang paling jujur. Malah menari dalam hujan merupakan suatu kaedah pelarian untuk menghadapi sesuatu permasalahan tanpa terlalu membebani logistik kejiwaan.
Misalnya, perasaan perlu dilepas perlahan agar tidak menjadi emosi yang membadai. Penulis berkarya bukan hanya untuk dimengerti, tapi juga mahu menikmati hidup dari sisi lain. Refleksi dan emosional sebegini merupakan pelarian untuk penyembuhan dan kebebasan tuntutan batin yang mengasak.
Kadang-kadang, menulis itu seperti menari sendiri di jalanan sunyi yang tidak memerlukan penonton, cukup langit hati penulis yang mendengar dan bumi fikiran yang menerima gerak tari jiwa yang mendambakan rentaknya. Kadang-kadang sajak yang dihasilkan hanyalah desah yang hilang bersama-sama kabut hujan atau akan mengurai jalur pelangi dalam tamsilan kendiri.
Oleh itu, syabas dan tahniah kepada penulis-penulis muda seperti Hafizuddin Hamran, Nursyerra Nabila binti Ismail dan Conielya Vieda Anak Lawrence kerana mahu menulis sajak, dan sajak mereka juga telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera (WBS), akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas.
Sajak-sajak yang dinukilkan oleh mereka pada dasarnya lebih menanggapi soal perasaan dan pemikiran yang merupakan sebuah perkongsian pengalaman serta pengamatan kendiri.
Semua sajak tersebut seperti berusaha menembusi kabut kehidupan yang peribadi. Mudah-mudahan nilai perasaan dan pemikiran yang ditaakul tersebut dapat memaknakan sesuatu pada jiwa pembacanya.
Sajak “Ibu Tua” oleh Hafizuddin Hamran bertemakan harga ketulusan kasih sayang seorang ibu, sebuah cinta tanpa syarat, pengorbanan yang sunyi dan kekuatan batin yang lembut.
Dalam rangkap awal sajak, penulis mengungkapkan keadaan ibu yang renta. Misalnya dalam rangkap berikut;
Tubuh rentanya lumut kekeringan,
Merekah dek pancaran bagaskara,
Namun kekal tumbuh bersama akar.
Sehingga berjelar di persimpangan.
(rangkap 1, sajak “Ibu Tua “)
Menerusi rangkap seterusnya pula, penulis meluahkan cerita hatinya terhadap pengorbanan ibu yang tabah dan gigih tanpa membataskan kudrat wanitanya. Misalnya;
Saat keringat gugur di bentala,
Tulang belulang mendakap beban.
Membayang jiwa tak kenal jerih,
Meskipun diam terpancar kasih.
(rangkap 2, sajak ” Ibu Tua “)
Manakala dalam rangkap akhir sajak, penulis masih larut dengan keutuhan jiwa tua ibu hingga menunggu usianya yang sekali gus menuntaskan judul sajak ini.
Kulihat sekujur tubuhnya,
Uratnya halus bak serabut nipis,
Langkahnya serasa perlahan meniti,
Seakan menunggu pusara tiba,
Namun jiwanya tetap tabah tak sirna.
(rangkap 3, sajak ” Ibu Tua “)
Sajak ini berbentuk bebas dan dibina dalam tiga buah rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak biasa dan kata yang digunakan pun tidak lewah.
Namun demikian, pemilihan kata dalam sajak ini masih memerlukan penelitian kerana penggunaan unsur-unsur persajakan seperti simile, perlambangan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya masih perlu dimurnikan bagi menyegarkan tamsilan agar lebih malar dan tersusun kekar.
Apabila menulis sajak, sebaik-baiknya ungkapan kata diteliti dengan peka agar citra sajak disampaikan dengan jelas, kemas dan berhemah. Misalnya, dalam rangkap pertama sajak yang larik katanya, “Tubuh rentanya lumut kekeringan”.
Pemilihan kata “lumut kekeringan” bagi menggambar tubuh renta ibu, bukanlah padanan yang murni untuk tubuh ibu yang dalam keseluruhan sajak ini sangat dihargai cinta dan pengorbanannya. Jangan sesuaikan suatu yang tulus dengan citra yang noda. Oleh itu disarankan agar kata “lumut kekeringan” diganti dengan sesuatu yang lebih murni apabila dibaca dan dihayati jalinan metaforanya.
Selain itu, dalam sajak ini juga ditemukan kata-kata yang tidak mempunyai makna menurut kamus Dewan. Misalnya, kata “disukut” dan “bagaskara”. Hal ini telah merencatkan makna keseluruhan sajak dengan sendirinya. Penulis sajak yang baik perlu prihatin dalam pemilihan kata yang sesuai dan berhemah. Hal ini merupakan keperibadian dan jati diri penulis dengan sendirinya.
Walau apa pun, sajak ini mempunyai pesan moral yang baik kerana telah mengajak pembaca untuk merenung cinta, pengorbanan dan kekuatan ibu tanpa batas. Semoga sajak ini akan menjadi bunga kecil yang tumbuh dan diam-diam kembali menyuburkan jiwa anak-anak untuk selalu menghargai ibu tuanya.
Sajak “Permata” oleh Nursyerra Nabila binti Ismail bertemakan kasih sayang anak terhadap ibu bapa. Sajak ini begitu menyentuh hati, penuh kelembutan dan penghargaan mendalam penulis terhadap ibu dan bapanya. Misalnya;
Lengkung senyum bibirmu
Ibarat bianglala di mataku
Andai aku
Yang membuatmu senyum
Alangkah bahagianya diriku
…
Kehadiranmu amat berharga
Kasih sayangmu tidak terbatas
Sikap prihatinmu melindungi diriku
Doa-doamu menjadi semangat buatku
(rangkap 1 dan 4, sajak “Permata”)
Menerusi rangkap kedua dan akhir sajak, penulis mengakui untuk sanggup melakukan apa-apa sahaja demi memenuhi keinginan dan hasrat ibu bapanya. Misalnya;
Jika dikau ingin mendaki puncak gunung
Izinkan aku menjadi tangganya
Jika dikau ingin terbang melihat cakerawala
Izinkan aku menjadi sayapnya
Jika dikau bumantaranya
Izinkan aku menjadi bintang-bintangmu
…
Lihatlah gugusan bintang
Yang bertaburan di langit malam yang gelap
Begitulah hitungan cintaku kepadamu
Kuharap engkau menyedarinya
Wahai permataku,
Ibu dan ayah.
(rangkap 2 dan 5, sajak “Permata”)
Pemilihan kata dalam sajak ini bersahaja dan sedikit lewah bagi mengungkapkan persoalan demi persoalan yang hendak diolah. Sajak ini juga berbentuk bebas dan dibina daripada lima buah rangkap yang sederhana bagi menyatakan persoalan yang ada.
Gaya bahasa sajak masih memerlukan penelitian yang lebih harmoni agar penyampaian ungkapannya lebih rapi. Justeru penggunaan unsur-unsur persajakan seperti imejan, metafora, personifikasi dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih terampil bagi memaknakan baris sajak yang lebih tepu.
Dalam sajak, menjaga imejan bererti memastikan bahawa gambaran atau citraan yang dibentuk oleh kata-kata tetap kuat, konsisten dan menggugah pembaca. Imejan ialah unsur penting dalam sajak kerana dapat membantu pembaca untuk membayangkan, merasakan dan mengalami makna melalui penghayatannya.
Sajak ini pada dasarnya sudah mengandungi imejan yang indah, namun masih ada ruang untuk memperkuat citra agar lebih menyala dalam bayangan pembaca.
Dengan imejan permata dalam sajak ini, penulis perlu menjaga konsistensinya. Jangan lompat ke imejan kontra tanpa transisi yang halus. Penulis masih boleh menjaga dan memperkaya imejan dalam sajak ini dengan memahami sepenuhnya perkara yang mahu diungkapkan.
Misalnya, “Lengkung senyum bibirmu/Ibarat bianglala di mataku” merupakan imejan yang visual dan segar – senyuman digambarkan biasan bianglala, menunjukkan kegembiraan dan keindahan. Namun begitu, disarankan larik sajak tersebut ditulis begini, “Kilau lengkung senyummu/persis bianglala pada irisku”.
Kata “bibir” digugurkan kerana senyuman memang pada bibir dan diyakini kata bibir seolah-olah lewah untuk imejan yang sama. Penambahan kata “kilau” sebagai penguat dan metafora bagi membangkitkan visual keindahan batu permata. Penggunaan kata “iris” pula sebagai menyegarkan ungkapan yang klise.
Selain itu bagi memperkuat imejan “cahaya” dengan sesuatu yang lebih spesifik dalam larik “Engkau seperti cahaya yang menyinari bumi” boleh diperhalusi menjadi “Engkau seperti matahari pagi/Menyingkap kabut dari relung jiwaku”. Ungkapan ini memberi imej yang lebih ampuh – bukan sekadar cahaya biasa, tapi cahaya yang membawa semangat dan kehangatan.
Terakhirnya ialah sajak “Segudang Harapan” oleh Conielya Vieda Anak Lawrence yang mengupas tentang ketabahan dan harapan dalam menghadapi dugaan emosi dan krisis peribadi sebuah hubungan yang manusiawi.
Sajak ini bertemakan pergolakan dalaman individu yang terluka akibat konflik dan salah faham, namun memilih untuk tetap bangkit dan melangkah demi harapan yang masih membara.
Sajak ini juga sarat emosi mendalam, menggambarkan ketabahan dalam menghadapi konflik dan luka hati, namun tetap memilih untuk berjuang demi harapan yang masih bersisa. Misalnya;
Aku masih bertahan, meski terluka.
Rambut terurai, kuikat kembali,
Air mata jatuh, menitis di pipi
Sebagai tanda retaknya hati.
(rangkap 2, sajak “Segudang Harapan”)
Penulis turut memperlihatkan imejan fizikal dan emosi dalam rangkap ini. Rambut yang diikat kembali dan air mata menggambarkan usaha untuk kembali tenang meskipun hati terasa amat sedih.
Pada baris akhir sajak, penulis menyimpulkan bahawa perjalanan belum jelas, harapan yang masih menyala memberi kekuatan. Luka bukan akhir segalanya, tetapi guru yang alamiah. Perjuangan bukan beban selagi masih ada segudang harapan dalam diri. Misalnya;
Demi harapan yang tak kunjung padam,
Aku terus melangkah, walau tak tahu arah.
Kerana dalam setiap luka, ada pelajaran,
Dan dalam setiap perjuangan, ada segudang harapan.
(rangkap 4, “Segudang Harapan”)
Bentuk sajak ini bebas dan dibina daripada empat buah rangkap yang sederhana panjangnya bagi menyatakan taakulan penulis terhadap apa-apa yang dialaminya. Gaya bahasa sajak ini masih memerlukan penelitian semula agar makna kata sajak lebih segar unsur pengolahannya.
Pemilihan kata sajak mudah difahami. Oleh itu, sangat digalakkan agar penulis mahu membaca sajak-sajak penulis mapan yang diminati agar penulis dapat menemukan proses pengolahan sajak yang lebih wibawa ungkapannya.
Pada keseluruhannya, sajak ini jelas memperlihatkan perjalanan emosi seseorang daripada kelukaan kepada kecekalan. Nukilan dalam sajak ini seperti luka yang disembuhkan perlahan-lahan.
Gaya bahasa sajak ini sederhana tetapi kuat, banyak unsur visual dan emosi yang menyentuh. Sajak ini boleh dijadikan inspirasi bagi sesiapa yang sedang mengalami kesedihan atau konflik, namun masih mahu bangkit dengan penuh semangat.
Sajak ini juga membawa mesej positif bahawa setiap luka bukan penghujung perjalanan, tetapi permulaan untuk bangkit semula.
Kita harus belajar daripada kesedihan dan menjadikan harapan sebagai kekuatan untuk meneruskan hidup. Sajak ini sangat sesuai dijadikan motivasi, khususnya untuk remaja yang sedang berdepan dugaan.
Semoga dengan teguran dan saranan yang ada, penulis dapat memahami apa yang mahu disampaikan dengan berlapang rasa dan tanggapan. Sememangnya menulis sajak yang baik bukanlah sesuatu yang mudah dan diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat.
Sesebuah karya sajak yang dihasilkan lazimnya perlu melalui proses baca, sunting, baca dan sunting sehingga ungkapan rangkapnya benar-benar menyeluruh makna tema dan persoalan-persoalannya.
Oleh itu, jangan mudah tersinggung jika hasil awal sajak yang ditulis tidak memenuhi sepenuhnya kriteria sajak yang baik.
Rumusnya, ketiga-tiga buah sajak yang dibicarakan tadi jelas menggambarkan ungkapan hati yang sedang diruntun emosi yang peribadi. Hal ini bukanlah sebuah kelemahan kerana menulis sajak seperti menari dalam hujan.
Selepas hujan teduh atau sajak selesai diolah, pembacalah yang akan menemukan jalur pelanginya atau hanya menikmati kenyamanan suasana segar yang mendamaikan jiwa.
Oleh itu, kebolehan dan keberanian Hafizuddin Hamran, Nursyerra Nabila binti Ismail dan Conielya Vieda Anak Lawrence dalam menulis sajak wajar diberikan ruang dan peluang yang lebih khusus pembelajarannya.
Justeru mereka jelas berpotensi dalam memperlihatkan bakat dan minat kepenyairan diri. Cuma mereka perlu lebih memahami proses penulisan sajak agar olahan sajak lebih berhemah dan bermakna. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka.
Syabas dan sukses, selalu!
Oleh Rosani Hiplee